Sabtu, 28 Januari 2012

Penyesalan (Part. 1)

            “AAAA TELAT!!” seruku yang langsung bersiap untuk ke sekolah.
            Aku langsung bergegas ke ruang makan yang ada di lantai bawah.
“Mama, papa! Bibi dimana? Kok kalian nggak bangunin aku? Aku telat!” seruku.
“Bibi sedang belanja, honey!” balas mama lembut.
“Yaudah, aku berangkat ya, takut macet!” seruku yang beranjak dari ruang makan.
“Tyara! Pak Min tadi pagi telepon katanya nggak bisa datang, anaknya sedang sakit. Jadi kamu bawa mobil sendiri ya!” ucap papa.
Ya, namaku Tyara Putri Artadinata. Nama papaku adalah Dharma Artadinata, sedangkan nama mamaku adalah Renata Artadinata. Aku bersekolah di SMA Taruna Bangsa (STB) sekolah terbaik yang ada di Lampung. Aku kelas 11. Sekolahku ini terkenal dengan “sekolah mahal”. Wajar saja dengan fasilitas serba lengkap dan terbaik serta prestasi akademik ataupun non-akademik siswa-siswa sangat baik, karena itu banyak anak yang ingin masuk ke STB.
Oh ya, sekolahku ini sebenarnya milik keluargaku (bukan karena sekolah ini milik keluargaku aku membangga-banggakannya ya!). Jangan salah! Aku masuk ke sekolah ini hasil keringatku sendiri. Aku belajar giat demi masuk ke STB. Bukan dengan menggunakan nama besar papaku. STB memiliki 3 lantai, tempat parkir yang luas, taman, lapangan futsal outdoor. Di lantai satu terdapat ruang-ruang untuk kelas 10 dan kantor guru. Di lantai 2 terdapat ruang-ruang untuk kelas 11. Di lantai 3 terdapat ruang-ruang untuk kelas 12. Di masing-masing lantai terdapat lab. Biologi, lab. Kimia, dan toilet-toilet. Sedangkan untuk ruang musik, ruang OSIS, perpustakaan, dan UKS terletak di gedung yang terpisah dari gedung utama tapi tetap terhubung. Fasilitas lainnya terdapat ruang basket indoor, kolam renang indoor, serta ruang olahraga indoor lainnya terdapat di gedung ketiga.
Selain itu, papa dan mama mempunyai sebuah rumah sakit besar di Lampung. Dengan kesibukan orang tuaku, terkadang aku merasa kurang perhatian dari mereka. Tapi aku berprinsip sebagai gadis yang kuat dan mandiri. Aku harus bersyukur dengan apa yang telah aku dapatkan. Cukup dulu perkenalannya.
Benar saja, ketika aku tiba di sekolah, aku telat! Siswa-siswa yang telat sudah berbaris di tengah lapangan. Akupun ikut berbaris bersama teman-teman kelasku yang telat. Guru mengabsen kami.
“Tyara, mengapa kamu disini? Sudah kamu masuk kelas saja!” perintah bu Nuri, guru BK-ku yang super galak.
“Saya telat bu, saya akan tetap disini!” ucapku.
“Tapi...” sahut bu Nuri.
“Nggak apa-apa, bu!” balasku.
Selesai aku dan siswa-siswa lain dihukum, kami masuk ke kelas masing-masing. Kami selesai pada jam istirahat. Aku langsung menghampiri Putri teman sebangkuku sekaligus sahabatku sejak SMP.
“Kok telat, Ra?” tanya Putri.
“Gua kesiangan, Put!” jawabku yang tertawa kecil.
“Kenapa nggak langsung masuk aja, Ra? Bu Nuri juga nggak akan marah kan?” tanya Putri.
“Gua nggak mau ada perbedaan sama yang lain, Put! Allah aja nggak pernah membedakan umatnya.” jawabku.
 “Iya deh, sorry.” balasnya.
“Oh ya, setelah ini pelajaran Matematika kan?” tanyaku.
“Hah? Matematika? Setelah ini perlajaran Biologi Tyara! Kok lo pikun sih!” jawab Putri yang tertawa.
“Serius? Memang ini hari apa?”
“Ini Kamis, ya ampun lo lagi sakit ya, kok bisa lupa hari sih!”
“Gua bawa buku-buku mata pelajaran kemarin! Aduh buku PR gua juga lupa dibawa! Mampus deh!” ucapku yang menutup mataku menggunakan tangan kanan.
“Eh, Put, gua ke toilet dulu ya!” ucapku yang langsung berlari.
Setelah dari toilet, aku kembali ke kelas. Betapa terkejutnya aku melihat kelasku sudah banyak siswa-siswa perempuan kelas 11 lain yang sedang berkumpul. Tapi setelah diperhatikan mereka hanya berkumpul di luar kelas. Memangnya ada apa dengan kelasku? Aku segera masuk ke kelas dengan penasaran.
Ternyata di tempat dudukku ada seseorang. Ya aku sangat mengenalinya, dia kak Alvin kakak kandungku yang sekolah di Australia. Usianya hanya berbeda setahun denganku. Aku dan kak Alvin sangat sering bertengkar, dari hal yang sepele hingga hal yang besar. Mungkin karena faktor usia yang berdekatan itu kami sering bertengkar.
“Ngapain lo disini?” tanyaku sedikit ketus.
Teman-temanku yang perempuan sedang berada di kelas semua, sedangkan yang laki-laki sedang berada di lapangan basket.
“Galak banget, mbak!” balasnya.
Please kak, gua lagi nggak mau bertengkar sama lo!” ucapku sedikit memohon.
“Siapa yang mau bertengkar sama lo?” tanyanya.
Bel masuk berbunyi. Akhirnya aku diselamatkan oleh bel ini, kalau tidak aku bisa terus bertengkar dengan kak Alvin, pikirku.
“Keluar lo! Gua mau duduk!”
“Eh, ada bu Nuri! Cepat duduk semua!” ucap ketua kelasku yang berlari panik diikuti teman-teman lelaki-ku.
Wajar saja, bu Nuri adalah guru yang ditakuti anak-anak kelasku. Tapi bukankah sekarang pelajaran Biologi? Entahlah. Aku langsung duduk di tempat Putri yang tak lain di sebelah kak Alvin. Sedangkan Putri duduk di belakangku, bangku itu memang kosong. Tanpa ekspresi takut sama sekali, kak Alvin tetap duduk di tempatku itu. Bu Nuri masuk ke kelasku.
“Anak-anak hari ini bu Martha (guru Biologi-ku) tidak masuk karena sedang seminar di Jakarta, begitupun guru Biologi lainnya. Sekarang kalian lanjutkan tugas yang bu Martha berikan minggu lalu!” perintah bu Nuri.
Miracle for me! Bu Martha tidak masuk jadi aku tak perlu dihukum karena tidak membawa bukunya. Untung saja aku sudah mengerjakan tugas itu hingga selesai walaupun tertinggal di rumah.
“Oh ya! Perkenalkan teman baru kalian, Reynaldi Ari Atmaja. Dia pindahan dari Bandung.” ucap bu Nuri.
Oh God! Rey kembali! Reynaldi adalah sahabatku sejak kecil. Dia pindah ke Bandung saat lulus SMP. Tak ada yang berubah darinya. Rey juga selalu menghentikan aku dan kak Alvin kalau sedang bertengkar.
“Alvin, Reynaldi, setelah ini kalian ke ruang pak Dharma ya!” perintah bu Nuri yang langsung keluar dari kelasku.
“Hei, Bee!” ucap Rey yang berdiri di dekatku.
Bee adalah panggilan Rey untukku.
“Hei, Rey!” balasku.
“Hei, Rey! Long time no see you!” seru kak Alvin.
Teman-temanku hanya memperhatikan kami dari tempat mereka masing-masing. Tasya masuk ke kelasku. Tasya adalah sepupuku. Usianya sama denganku. Kami satu sekolah sejak kami TK hingga SMA. Tapi sekarang aku tidak sekelas dengannya.
“Hei, kenapa nggak ada yang memberitahuku ada pertemuan seperti ini!” seru Tasya, “Hei kak Alvin, Rey!”
Miss you, Sya!” ucap kak Alvin.
“Hei, Sya!” balas Rey tersenyum.
“Hei, Vin! Kapan balik dari Ausie?” tanya Rey.
“Tadi pagi baru tiba di Lampung.” jawabnya.
“Oh, ayo ke ruang om Dharma!” ajak Rey.
Kak Alvin dan Rey keluar dari kelas.
“Ra, gua ke kelas dulu ya! Bye!” seru Tasya.
Anak-anak perempuan di kelasku menghampiriku. Aku duduk dibangku-ku semula, begitupun Putri.
“Eh, Ra, mereka berdua itu siapa lo?” tanya temanku yang bernama Bella.
“Iya, Ra! Mereka ganteng banget!” tambah Saskia, temanku yang satu ini memang terkenal centil.
“Yang wajahnya sok ganteng tadi namanya Alvin dia kakak kandung gua, sedangkan yang anak baru tadi namanya Rey dia sahabat gua sejak kecil.” jawabku.
“Kok gua nggak pernah tau kalau lo punya kakak, Ra?” tanya Bella.
“Dia sekolah di Australia kelas 3 SMA.” jawabku.
“Mereka sudah punya pacar belum, Ra?” tanya Saskia yang disambut keingintahuan anak-anak lainnya.
“Nggak tau.” jawabku datar.
Mereka langsung kembali ke tempat masing-masing dengan wajah yang ceria, mungkin karena mereka berpikir bahwa mereka masih ada harapan untuk mendekati kak Alvin dan Rey. Walaupun aku sangat membenci kak Alvin aku tak akan rela kalau kak Alvin pacaran dengan Saskia yang centil itu, batinku.
“Eh, Put, setelah ini pelajaran olahraga ya?” tanyaku.
“Iya, Ra!” jawab Putri.
Rey kembali lagi ke kelasku.
“Bee, dipanggil om Dharma!” seru Rey.
“Kenapa?” tanyaku.
Rey langsung keluar, akupun mengikutinya. Di ruangan papa, kak Alvin sedang duduk dihadapan papa.
“Duduk Tyara!” perintah papa.
Aku langsung duduk di sebelah kak Alvin.
“Ada apa, pa?” tanyaku.
“Papa dan mama pikir, ada baiknya kalau kamu dan Alvin liburan ke Kalianda untuk beberapa hari.” ucap papa.
“Hah? Nggak!” balasku dan kak Alvin bersamaan.
Papa hanya tersenyum. Aku tau maksud papa adalah agar hubungan aku dan kak Alvin lebih dekat.
“Pa, besok kan sekolah! Tyara mau sekolah, pa!” tambahku.
“Besok hanya ada perlombaan-perlombaan olahraga, Tyara!” ucap papa.
“Tapi, pa...” ucapku.
“Kali ini kamu harus mau, tenang saja, kamu dan Alvin akan ditemani Rey dan Tasya. Sekarang kalian berangkat!” perintah papa.
“Tapi ini belum jam pulang sekolah, pa!” seruku.
“Pelajaran kelas kamu nanti hanya olahraga! Setelah itu pulang! Kalian langsung berangkat ke villa kita di Kalianda. Sedangkan barang-barang kalian sudah disiapkan. Tasya sudah menunggu!” jelas papa.
“Pa, aku nggak mau kalau harus ke villa itu lagi!” tegasku.
“Tyara!!” papa mempertegas.
Aku trauma ke villa keluargaku yang ada di Kalianda itu. Saat aku berumur 7 tahun, aku pernah tersesat di hutan dekat villa itu sampai akhirnya aku ditemukan oleh seorang warga kampung.
Dengan sangat tidak bersemangat aku dan Rey ke kelas kami untuk mengambil tas. Ketika kami masuk, anak-anak kelasku ada yang sedang berbincang, membaca, mendengarkan musik, main game online, dan lainnya. Teman-temanku yang sedang berbincang langsung memperhatikan kami.
“Mau kemana, Ra? Kok bawa tas?” tanya Putri.
“Mau perang, Put! Oh ya, besok gua nggak masuk, Put!” jawabku.
“Kalau lo mau kemana, Rey?” tanya Putri.
Putri memang mengenal Rey, karena dulu kami satu SMP.
“Mau jagain orang yang perang!” jawab Rey tersenyum lalu melirikku.
“Sebentar Rey, gua mau titip tugas dulu!” seruku.
Aku duduk di tempatku dan mencari flashdisk untuk tugas kelompokku dan Putri yang harus dikumpulkan Sabtu. Rey tetap berdiri. Tasya masuk ke kelasku. Dia memakai tasnya juga.
“Rey, Ra, gua disuruh om Dharma untuk mengambil barang-barang kalian, barang-barang gua dan kak Alvin juga sudah di om Dharma!” ucap Tasya.
“Memangnya mau apa sih, Sya?” tanyaku seraya memberikan HP-ku.
“Nggak tau, Ra!” jawabnya seraya meminta barang-barang Rey.
Rey memberikan BB-nya.
“I Phone?” tanya Tasya. Rey memberikannya.
“I Pad?” tanya Tasya. Rey kembali memberikannya.
“ATM?” tanya Tasya. Rey memberikannya juga.
“Kunci mobil?” tanya Tasya. Rey memberikan semua barangnya.
“Sudah, Sya! Cuma itu yang gua bawa!” balas Rey.
Setelah memberikan barang-barang itu. Kami kembali ke mobil. Kak Alvin yang membawa mobil itu. Perjalanan ke Kalianda membutuhkan waktu 2½ jam.
“Kok pindah kesini, Rey?” tanya Tasya.
“Nggak apa-apa, Sya! Ingin pindah saja kesini!” jawab Rey.
“Kalau kak Alvin, liburan atau apa kak?” tanyanya lagi.
“Lagi liburan, Sya!” jawab kak Alvin.
Aku hanya diam dan tidak mendengarkan. Aku membenci kak Alvin! Karena kak Alvin aku phobia dengan ketinggian. Karena kak Alvin aku menjadi anak yang penakut. Karena kak Alvin HP pertama yang aku beli dengan uang tabunganku sendiri rusak. Dan karena kak Alvin masa kecilku sangat buruk! Itu sebabnya aku sangat membenci kak Alvin. Walaupun terkadang aku merindukannya.
Aku hanya tertidur di mobil hingga kami tiba di villa. Ketika tiba di villa, aku dan Tasya langsung beristirahat di kamar kami. Walaupun aku sudah tidur di mobil, entah mengapa kalau merasakan suasana nyaman seperti ini aku mengantuk lagi.
***
Alvin’s POV...
“Dia masih marah sama lo, Vin?” tanya Rey.
“Iya, Rey! Entahlah susah banget mau minta maaf sama dia!” jawabku.
“Yaudah, Vin, sabar aja ya, gua bakal bantu lo terus kok! Dia hanya salah paham.” ucap Rey yang mencoba menenangkanku.
Thanks bro! Sebaiknya lo istirahat!”
“Iya, lo nggak istirahat, Vin?” tanya Rey.
“Nggak, gua mau lihat keadaan disini dulu, sudah lama nggak kesini!” jawabku.
Yah, umurku memang lebih tua setahun dibanding Rey, tapi kami memang berteman dekat sejak kecil, mungkin karena Rey sahabat adikku aku jadi dekat dengannya. Rey masuk ke kamar. Aku keluar dari Villa dan berjalan di pematang sawah. Aku duduk di gubuk tengah sawah itu.
Andai kamu tau dek, kalau sebenarnya kakak itu sangat menyayangi kamu. Ketika kita sedang liburan di Bogor, kakak dan kamu main di tebing, kakak senang melihat kamu yang tertawa lepas. Nggak sengaja kakak melihat kamu yang berada di pinggir tebing dan hampir terjatuh, kakak langsung menahan kamu. Tapi apa daya, kakak nggak bisa berbuat apapun ketika kamu jatuh. Dan kamu menyangka kalau kakak lah yang mendorong kamu.
Sewaktu kita di villa ini, kakak dan kamu nggak sengaja tersesat di hutan. Saat itu kakak menyuruh kamu untuk tetap di hutan itu karena kakak tau kalau kamu sangat lelah dan kakak pergi untuk mencari pertolongan. Tapi kakak nggak bertemu siapapun dan kakak nggak bisa balik ke hutan karena lupa jalan yang harus kakak lewati sampai akhirnya kakak bertemu beberapa warga kampung. Ketika kakak mencari kamu, nggak taunya kamu sudah ada di villa.
Untuk HP kamu yang rusak karena kakak, itu benar-benar nggak disengaja. Kakak panik ketika ada anjing yang mengejar kita, jadi mau nggak mau kakak harus melempar HP kamu ke anjing tersebut agar dia nggak mengejar kita. Semua itu kakak lakukan untuk kamu dek, tapi kamu salah paham dan nggak bisa menerima penjelasan kakak. Kakak sayang kamu, dek.
Aku hanya berbicara sendiri. Entahlah kalimat-kalimat terus keluar dari mulutku seperti sedang memberikan penjelasan. Tak tau kepada siapa. Andai aku bisa berbicara selancar ini dihadapan Tyara. Mungkin kalau ada orang yang melihat dan mendengarnya aku bisa disangka orang gila karena berbicara sendiri, untungnya itu tidak terjadi. Tiba-tiba aku mendengar suara orang menangis di belakangku, aku sangat hapal dengan suara tangisan itu, Tyara! Aku sama sekali tak menduga bahwa Tyara mendengar semua ucapanku itu. Tapi bukankah tadi dia tertidur?
Aku langsung melihatnya. Tyara langsung lari dengan cepat. Aku terus mengejarnya dan memanggil namanya. Aku pun terus meminta maaf padanya, tapi dia tak mendengarkanku sama sekali. Dia terus berlari.
“Tyaraaaa!!” seruku yang melihat Tyara terjatuh dan terguling semakin cepat ke bawah.
Medan tempat kami berada ini memang cukup terjal. Aku langsung berlari dan melihat keadaan Tyara. Ya Allah! Lindungi adikku, selamatkan dia! Pintaku. Ketika aku melihat keadaannya, tubuhnya penuh dengan luka-luka dan kepalanya mengeluarkan darah banyak. Ya Allah, tolong aku dan adikku, bagaimana cara kami untuk kembali ke villa. Di tempat kami berada saat ini cukup jauh dari perkampungan, bahkan mungkin jarang sekali ada warga kampung yang melewati tempat ini. Sedangkan HP kami diambil papa.
“Bismillahirrahmanirrahim...” ucapku.
Aku mengangkat Tyara. Jalanan yang kulalui menanjak. Ya Allah, perkuat langkahku untuk membawa Tyara ke villa dan lindungi dia. Aku tak ingin kehilangannya. Jarak dari tempat kami berada ke villa cukup jauh.
“Bertahanlah dek, kakak akan menyelamatkanmu!” ucapku.
Setengah perjalanan telah kulalui. Langkahku semakin pelan, aku lelah, Ya Allah tolong kami, pintaku. Hari semakin gelap. Aku benar-benar lelah. Aku segera membaringkannya di tanah. Aku ingat tumbuhan obat-obatan yang pernah diajarkan mama dan papa. Tapi tak ada apapun disini. Aku semakin putus asa. Tak tau apa yang harus kulalakukan lagi. Aku duduk didekatnya dan mengangkat kepalanya dengan lengan kananku.
“Bertahanlah dek, kamu pasti kuat! Maafkan kakak, dek!” ucapku.
“Kak, ma-ma-af, a-aku sa-sayang ka-kak...” ucapnya terbata dan tak sadarkan diri lagi.
“Bertahanlah dek! Kakak akan segera membawamu ke rumah sakit!” ucapku.
“Ya Allah! Aku mohon kepada-Mu, tolong kuatkan langkahku untuk menyelamatkan adikku, lindungi dia ya Allah, aku tak ingin kehilangannya...” ucapku.
Dengan bismilah aku kembali mengangkat Tyara. Tiba-tiba hujan turun deras, jalanan yang kami lalui licin. Tapi aku yakin, aku pasti bisa. Villa sudah mulai terlihat. Warga kampung bersama Rey dan Tasya sedang berkumpul. Terlihat kekhawatiran disana. Mereka semua langsung membantuku dan Tyara.
“Pak, apakah disekitar sini ada rumah sakit atau puskesmas?” tanyaku.
“Ada puskesmas, hanya saja dokter puskesmas sedang di Bandar Lampung dan tidak ada rumah sakit disini.” jawab bapak itu.
Tasya langsung mengunci villa dan berterima kasih kepada warga kampung yang telah membantu. Rey menyiapkan mobil. Aku dibantu warga memasukkan Tyara ke mobil. Hanya satu tujuan kami saat ini, dapat tiba di rumah sakit di Bandar Lampung untuk menyelamatkan Tyara. Hujan deras tak menghalangi niat kami. Rey menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya sama saja kami mencari bahaya pada hujan deras seperti ini dan menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.
“Sya, kamu bawa penghangat nggak? Tubuh Tyara dingin, Rey matikan AC-nya!” perintah kak Alvin.
“Nggak ada kak, semua barang yang kita bawa ada di villa!” jawab Tasya panik.
“AC-nya nggak mungkin dimatikan, Vin! Kalau dimatikan kita nggak mungkin bisa melanjutkan perjalanan!” jawab Rey, “pakaikan jaket gua!”
Ucap Rey yang memberikan jaketnya. Darah tidak berhenti keluar dari luka Tyara walaupun aku sudah membersihkannya. Aku takut Tyara kehabisan darah. Aku segera mengambil kain untuk menghambat keluarnya darah tersebut.
“Bagaimana ini, papa mengambil HP kita semua! Sekarang kita nggak ada alat komunikasi!” geramku.
“Kak! Ketika aku ingin memberikan HP Tyara dan Rey, diam-diam aku menyembunyikan salah satu HP Rey! Ini HP-nya!” balas Tasya seraya memberikan HP Rey.
Good idea, Sya!” puji Rey.
Aku mencoba menelepon papa, tapi jaringan sangat buruk karena cuaca seperti ini.
“Nggak bisa digunakan, jaringannya sangat buruk!” seruku.
 “Coba terus, kak!” Tasya menyemangati.
Aku terus mencoba, tapi tetap tak bisa. Rey terus mempercepat laju mobil.
“Awas Rey!!” seruku yang melihat ada mobil lain di depan mobil kami.
Untungnya Rey bisa menghindarinya.
Beberapa saat kemudian kami tiba di rumah sakit. Kebenaran mama dan papa sedang berada di rumah sakit. Mereka langsung membawa Tyara ke ruang UGD. Aku, Rey, dan Tasya tetap di luar ruangan. Kini jam menunjukkan pukul 20.50.
“Semua memang salah gua! Setiap Tyara dekat dengan gua pasti dia celaka! I’m bane! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Tyara, gua nggak akan memaafkan diri gua sendiri!” ucapku.
What did you say? Hear me, you’re not bane! But, you’re the best brother for her! Believe me!” ucap Rey yang mencengkram bahuku.
Your parents proud of you cause you protected her more than yourself!” tambah Rey.
“Benar kata Rey, kak! Lebih baik sekarang kita mendoakan yang terbaik untuk Tyara! Sekarang kita sholat isya dulu ya!” ajak Tasya.
Kami menuju mushola yang ada di rumah sakit itu. Entahlah, perasaanku sangat tak menentu. Sedih, kecewa, marah, semua bercampur jadi satu. Setelah sholat kami kembali ke ruang UGD. Orang tuaku keluar dari ruang UGD tersebut.
“Bagaimana, ma?” tanyaku.
“Keadaan Tyara masih kritis, tapi kamu tenang saja Vin, kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk Tyara! Doakan adikmu, nak!” jawab mama yang mulai menitikkan air mata.
“Maafkan Alvin, pa, ma! Alvin nggak bisa menjaga dan melindungi Tyara dengan baik. Semua memang kesalahan Alvin!” ucapku tak bisa menahan emosi.
“Alvin cukup! Kami percaya padamu! Kamu pasti menjaga dan melindungi Tyara dengan sangat baik! Sebaiknya sekarang kalian pulang dan beristirahat.” ucap papa.
Kepalaku tiba-tiba pusing, pasti ini karena kehujanan tadi. Tubuhku sangat dingin. Nggak! Lo nggak boleh sakit, Vin! Lo harus menjaga dan menunggu Tyara hingga dia sadar! Batinku.
“Alvin! Kamu kenapa?” tanya mama,”wajah kamu sangat pucat!”
“Nggak ma, Alvin nggak apa-apa. Ma, tolong izinkan Alvin tetap disini. Alvin ingin menjaga Tyara.” pintaku.
“Percuma saja kamu disini, Vin! Tyara akan dipindahkan ke ruang ICU!” balas mama.
“Tolong, ma! Alvin tetap ingin disini walaupun hanya menjaganya dari kejauhan.” pintaku lagi.
“Baiklah.” balas mama yang tak dapat menahan keinginanku.
“Om, tante, boleh nggak kalau aku dan Rey malam ini menginap di rumah kalian?” tanya Tasya.
Of course!” balas papa.
Tasya dan Rey beranjak menuju tempat parkir untuk pulang ke rumahku. Mama dan papa ke ruang Tyara. Sedangkan aku hanya dapat menunggu di ruang tunggu depan ruang ICU. Aku menolak ketika papa dan mama menyuruhku untuk menunggu di ruangan mereka. Mama dan papa kembali menghampiriku.
“Alvin, pakaianmu basah, tubuhmu dingin, dan wajahmu pucat, nak. Kamu yakin akan baik-baik saja?” tanya papa.
“Insyaallah, pa! Believe me, I will wait her in here!” jawabku.
Okay! But, change your clothes,Vin!” perintah papa.
Aku hanya menurut. Aku ke ruang mama dan papa untuk mengganti pakaianku. Setelah itu aku kembali ke ruang tunggu ICU. Hingga malam aku tak tidur untuk menunggu Tyara, segera aku ke mushola untuk sholat tahajud meminta kesembuhan adikku. Mama dan papa tetap di rumah sakit, mereka hanya menunggu di ruang mereka. Semalaman aku tak tidur. Khawatir, sedih, dan takut yang kurasakan.
Pagi harinya mama dan papa memeriksa keadaan Tyara. Aku menunggu di depan ruang Tyara hingga mama dan papa keluar.
“Bagaimana keadaannya?” tanyaku khawatir.
“Keadaannya masih kritis, Vin!” jawab papa.
Aku hanya diam.
Calm, Vin! Tyara itu kuat, dia tidak akan menyerah dengan keadaannya! Terus berdoa ya.” ucap mama.
I really hope it, mom!” balasku.
“Sekarang kamu pulang dan istirahat. Jaga kesehatanmu!” pinta mama.
I will stay in here until Tyara recover!” tegasku.
“Jaga kesehatanmu!” perintah papa yang langsung pergi dengan mama dan meninggalkanku.
“Oh Tyara! I want to die if you don’t recover!” ucapku spontan.
“Alvin, stop to say like that! Your statement is your pray!” seru Rey yang berada di belakangku.
Aku tak dapat berkata apapun.
“Tasya mendapat tugas untuk meliput lomba futsal STB yang ada di GOR, jadi nanti sore dia kesini. Gua akan ke dalam. Lo mau ikut?” tawarnya.
Go ahead!” ucapku lemah.
Rey segera meninggalkanku. Aku belum siap untuk melihat Tyara sekarang. Ketika adzan zuhur aku sholat di mushola. Setelah itu aku melihat keadaan Tyara yang masih tak sadarkan diri dengan selang oksigen untuk membantunya bernapas. Ketika aku ke ruang Tyara, Rey sudah tidak ada. Aku mendekati tubuh adikku yang terbaring tak berdaya.
“Dek, maafkan kakak, karena kakak kamu jadi seperti ini! Kakak janji kalau keadaan kamu membaik, kakak akan menjauh dari kamu, kakak akan pergi dan nggak akan mengganggu kamu lagi. Kakak akan melakukan apapun asalkan kamu bahagia, dek! I promise!” ucapku.
Sepertinya Tyara merespon ucapanku, aku segera memanggil mama dan papa. Oh ya, selain pemilik sekolah, papa juga dokter. Yah aku bangga dengan papa, dia dapat sukses di dua bidang yang berbeda. Mama dan papa memeriksa keadaan Tyara, sedangkan aku menunggu di luar ruangan. Tak lama, mama dan papa keluar.
“Bagaimana keadaan Tyara pa, ma?” tanyaku.
“Alhamdulillah keadaannya membaik, Vin! Semoga saja dia bisa sadarkan diri secepatnya.” jawab papa.
Berarti aku harus menepati janjiku, aku harus menjauh dari Tyara. Apa ini pertanda kalau kamu memang menginginkan kakak menjauh, dek? batinku.
“Vin, kamu kenapa? Sepertinya tidak senang?” tanya mama.
“Nggak apa-apa ma, Alvin sangat senang mendengarnya. Ma, pa, Alvin ingin bicara dengan kalian.”
“Bicara apa?” tanya papa.
“Bisa kita ke ruang mama dan papa dulu?” tanyaku balik.
Kami ke ruang mama dan papa. Aku bingung akan memulai pembicaraan darimana. Apakah papa dan mama akan setuju dengan semua ini?
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Vin?” tanya mama penasaran.
Aku diam sejenak.
“Ma, pa, Alvin akan pergi.” ucapku.
“Pergi? Apa maksud kamu, Vin?” tanya mama.
“Sebelumnya Alvin bernazar, kalau keadaan Tyara membaik, Alvin akan menjauh dari Tyara. Mungkin Alvin nggak akan menemuinya lagi.” jelasku.
“Tidak! Tidak, Vin! Jangan bodoh kamu, Tyara tidak akan setuju dengan ide kamu ini!” tegas papa.
“Pa, maaf, Alvin nggak bermaksud untuk nggak menghargai papa, tapi Alvin sudah bernazar, setuju atau nggak Alvin akan tetap pergi.”
Andai kamu tau dek, betapa sakitnya hati kakak ketika harus mengambil keputusan ini.
“Alvin! Papa tidak bercanda!” tegas papa.
“Pa, Alvin juga nggak bercanda. Alvin serius, pa.” jawabku lemah.
Aku keluar dari ruangan papa dan mama. Aku segera ke mobil dan pulang ke rumah. Rey sedang tidak berada di rumah, sepertinya dia sedang menemani Tasya di GOR. Aku menyiapkan barang-barangku yang penting saja dan aku masukkan ke ranselku yang cukup besar. Tapi, akan pergi kemana gua? Ausie? Nggak mungkin! Gua harus mandiri. Mungkin gua akan berhenti sekolah dan mencari kerja. Tapi kerja apa? Apa ada perusahaan yang mau menerima gua? Sudahlah, Vin, pikirkan itu nanti!
Aku menulis surat untuk Tyara. Setelah itu aku memberikannya kepada bi Minah, pengurusku dan Tyara sejak kecil sekaligus orang yang bertanggung jawab untuk mengurus rumahku. Bi Minah menginterogasiku, tapi aku tidak menjawab banyak, aku hanya memberitahu bahwa aku akan pergi dan beritahu papa serta mama agar mereka tidak perlu mencariku. Setelah berpamitan dengan bi Minah, aku pergi. Aku hanya membawa pakaian, handphone, dan motor ninja yang aku beli menggunakan uang tabunganku sebelum aku sekolah di Ausie.
Semoga ini yang terbaik untukmu, dek. I love you...
***
 2 hari kemudian...
“Kak Alvin, kak Alvin...” aku mengigau.
Ketika aku bangun di ruanganku hanya ada papa, mama, Rey, dan Tasya. Aku melihat raut wajah mereka yang sedih. Kepalaku masih pusing. Papa dan mama langsung memeriksa keadaanku.
“Ma, pa, dimana kak Alvin?” tanyaku.
Papa dan mama hanya diam.
“Rey, Sya, dimana kak Alvin?” tanyaku lagi.
Rey dan Tasya juga diam.
“Mengapa kalian diam?” tanyaku.
Rey memberiku sebuah surat. Aku membuka surat itu lalu membacanya.

Dear Tyara...
Bagaimana keadaanmu, dek? Kakak harap kamu baik-baik saja. Mungkin saat kamu membaca surat ini kakak sudah berada di suatu tempat. Kakak minta maaf ya dek, karena kakak keadaan kamu seperti ini. Semoga kamu mau memaafkan kakak, dek.
Sekarang kakak akan menjauh dari kamu, kakak nggak akan mengganggu kamu lagi. Sesuai yang kamu inginkan. Semoga dengan kepergian kakak ini kamu menjadi gadis yang lebih baik. Kakak nggak mau kamu terganggu dengan kehadiran kakak, lebih baik kakak yang mengalah dan pergi menjauh agar kamu bahagia. Jangan nakal ya dek, kamu harus patuh dengan mama dan papa, tolong jaga mereka ya, dek. Oh ya, kamu jangan lupa sholat ya. Kamu juga harus sekolah yang rajin dan belajar yang giat. Raih cita-citamu. Kamu harus membuat mama dan papa bangga denganmu. Tolong beritahu papa dan mama untuk nggak mencari kakak dan maaf karena kakak pergi tanpa persetujuan mereka.
Kakak sayang kamu, dek. Kakak akan selalu menyayangi kamu selamanya. Semoga kamu selalu bahagia ya, dek. Untuk mama dan papa, maafkan Alvin ya, Alvin sayang kalian. Sangat menyayangi kalian.
Kakak harap kamu membaca surat ini. Love you...
Wasalam...

“Ma, pa, dimana kak Alvin?! Beritahu Tyara kalau ini semua hanya bercanda!” ucapku yang menangis.
“Jawab ma, pa! Ini semua bohong kan?!” seruku.
“Maafkan papa nak, papa sudah meminta anak buah papa untuk mencari Alvin sejak papa mengetahui kalau Alvin pergi, tapi...” ucap papa.
“Tapi apa, pa?” tanyaku.
“Tapi mereka belum menemukan Alvin ataupun mendapatkan kabar tentang Alvin.” jawab papa.
Aku melepaskan infus yang ada di tanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar