Sabtu, 24 September 2011

sahabat sejati


Sahabat Sejati
Bel berbunyi, itu berarti murid-murid SMAN 2 Bandar Lampung masuk kelas setelah istirahat. Pelajaran dimulai kembali. Aku Tya. Aku adalah seorang siswi SMAN 2 Bandar Lampung, kelas 12. Tepatnya kelas 12 IPA 1. Pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia. Kami ditugaskan untuk membuat selembar surat resmi. Tak lama pelajaran bahasa Indonesia usai. Selanjutnya pelajaran Matematika menunggu kami. Akhirnya dua jam telah terlalui. Pelajaran Matematika pun usai, itu berarti seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang.
Aku langsung menemui sahabatku, Radit. Radit adalah sahabat baikku. Radit adalah sahabatku dari kecil. Kami akan bertemu di kantin. Biasanya sepulang sekolah masih banyak siswa yang belum pulang. Saking dekatnya kami, adik kelas banyak yang mengira kami berpacaran. Aku mengejutkannya.
Hallo, Dit!” seruku.
You scaring me!” balasnya seraya mengacak rambutku.
“Radiiit! Stop!” teriakku.
Gua udah memesan nasi goreng.” ucap Adit.
Thanks!” jawabku datar.
Pesanan kami datang. Sekelompok adik kelasku sedang berbincang dan makan di meja belakang kami. Banyak diantara mereka yang menyukai Radit. Wajar saja Radit adalah siswa yang banyak disukai adik kelas dan teman-teman kami. Dia termasuk siswa yang perfect. Beberapa adik kelasku ini, memperhatikan kami dengan sembunyi-sembunyi. Aku sedang tidak nafsu makan. Radit menyuapiku. Kami memang biasa seperti ini. Keluarga kami saling mengenal dan sudah dekat.
Kenapa lo nggak nafsu makan? Are you sick?” tanyanya.
”Nggak apa-apa, Dit! I’m bad mood , Dit!” jawabku..
Why?” tanyanya.
Nggak tau! I’m very bad mood!
Please! Don’t bad mood again, i’m here for you!
Aku membenamkan wajahku dengan tangan dan tiba-tiba air mataku keluar. Radit pindah ke sebelahku dan menepuk kecil pundakku.
Why are you? Don’t cry!” pintanya.
I’m headache, Dit! Kenapa gua nangis?! Please don’t cry again Tya, lo nggak boleh nangis!” ucapku pada diriku sendiri.
Lalu, aku menghapus air mataku. Entah mengapa air mataku tak dapat berhenti keluar. Radit pun menghapus air mataku dengan tangannya. Banyak mata yang memperhatikan kami.
“Gua antar lo ya! I afraid there is something happen to you.” ucapnya.
“Gua malas di rumah! Papa, mama gua lagi di Bandung. Di rumah sepi.” balasku.
“OK! Lo ikut gua ya!” ajak Adit yang langsung menarik tanganku.
Kali ini banyak mata yang memperhatikan kami dengan terang-terangan. Kantin SMANDA (SMAN 2 Bandar Lampung) berdekatan dengan tempat parkir. Sehingga orang yang ada di kantin dapat melihat orang yang ada di tempat parkir. Radit tidak membawa mobil New Vios-nya. Hari ini ia membawa motor ninjanya.
”Dit! Kita mau kemana? Gua capek!” ucapku.
”Kita itu harus refreshing dulu. Lagipula besok hari Sabtu dan besok guru-guru akan rapat.” balasnya.
Tak lama kemudian kami tiba di suatu tempat. Tempat itu memang indah. Sore itu kami menghabiskan waktu di tepi danau. Radit menemaniku. Aku sudah memintanya untuk meninggalkanku, tapi dia tak mau. Radit pun mengantarku pulang. Aku langsung duduk di sofa.
”Bee, lo sakit ya? Muka lo pucat banget! Kita ke rumah sakit aja ya!” ucap Radit.
Bee adalah nama panggilan untukku dari Radit.
”Nggak usah Dit, gua nggak apa-apa kok. Lagipula kan ada bibi dan ada sopir.” balasku.
”Kalau lo nggak mau, lo ke rumah gua aja, ada mama sama papa gua, gua khawatir kalau lo disini.” jelas Radit.
Radit menarik tanganku. Aku diajak ke rumahnya. Hari ini memang aku merasa tidak fit. Kami pun tiba di rumah Radit. Kebenaran orang tua Radit baru pulang dari kantor mereka. Orang tuaku adalah dokter. Sedangkan orang tua Radit mempunyai perusahaan besar di Lampung. Aku adalah anak tunggal begitupun Radit.
”Radit! Tya kenapa? Wajahnya pucat?” tanya mama Radit.
”Nggak tau, ma! Tiba-tiba saja Tya jadi seperti ini.” jawab Radit.
”Nggak apa-apa kok tante, Radit aja yang terlalu berlebihan.” ucapku.
Mama Radit mendekati aku.
”Nggak apa-apa bagaimana lagi, tubuhmu panas Tya. Ayo ikut tante, Radit kamu ganti baju dulu sana.” ucap mama Radit.
Aku ikut dengan mama Radit. Radit ke kamarnya. Sedangkan papa Radit pergi ke kantor lagi. Aku menginap di rumah Radit. Aku tidur di kamar tamu.
Paginya, aku bersiap-siap untuk sekolah. Radit pun serupa.
”Ma, memang Tya sudah boleh sekolah?” tanya Radit.
”Sudah boleh. Sakitnya nggak terlalu parah.” jawab mama Radit.
”Radit, kamu bawa mobilmu saja. Kasihan Tya, dia masih sakit nggak baik naik motor untuk orang sakit.” ucap papa.
”Nggaklah om, aku kan udah nggak sakit lagi.” balasku.
Aku dan Radit pun berangkat sekolah menggunakan mobil New Vios-nya. Kami tiba di sekolah. Temanku, Sheni sudah menunggu di koridor.
”Tya! Lo lama banget sih datangnya! Capek tau nunggu lo disini.” gerutu Sheni.
Sorry, Shen!” balasku.
Aku dan Sheni masuk ke kelas. Sedangkan Radit menemui teman-temannya. Pukul 07.00 seluruh siswa SMANDA masuk kelas. Pada pukul 09.45 pelajaran usai. Seluruh siswa keluar kelas masing-masing karena seluruh guru akan mengadakan rapat komite sekolah yang diadakan setiap tahun. Tetapi, siswa belum diperbolehkan pulang karena eskul (extrakulikuler) tetap berjalan. Aku dan Radit tergabung dalam eskul Pecinta Alam. Ketua eskul tersebut adalah Radit.
SMAN 2 Bandar Lampung adalah salah satu SMA terbesar di Bandar Lampung. Seluruh anggota berkumpul di basecamp Pecinta Alam. Tepatnya di halaman belakang sekolah. Karena pembina dan pelatih mengikuti rapat, Radit memberi sedikit penjelasan tentang alam. Banyak anak kelas 10 yang masuk eskul Pecinta Alam hanya karena Radit. Radit mengizinkan untuk anggotanya beristirahat sejenak.
Para anggota berhamburan tetapi nanti kembali berkumpul. Ada 2 anak kelas 10 yang memberikan coklat pada Radit. Aku melihat saat aku ingin menemui Radit. Aku menghampirinya setelah 2 anak itu pergi. Aku hanya tertawa.
”Wah enak nih yang dikasih coklat, mau dong!” gumamku.
”Ih lo ini!” balasnya.
Tak lama para anggota kembali berkumpul.
Guys! Besok kita akan mengadakan hiking ke daerah Batu Putu, diharapkan kalian besok berkumpul pukul 06.15.” beritahu Radit.
Para anggota senang. Terutama yang menyukai Radit.
”OK! Sampai disini pertemuan kita, besok jangan lupa bawa perlengkapannya.” sambung Radit.
Seluruh anggota berhamburan. Aku tetap di tempatku seraya menunggu Radit selesai dengan tugasnya.
”Hey! Mau coklatnya nggak?” tanya Radit.
”Nggak!” balasku.
”Om dan tante (orang tuaku) udah pulang?” tanya Radit lagi.
”Nanti malam mereka pulang.” jawabku.
Lunch yuk, lapar nih!” serunya.
Kami pun menuju kantin. Seperti biasa di kantin masih ramai. Radit memesan makanan. Tak lama pesanan kami datang, kami berdua pun langsung menyantapnya.
”Pulang sekolah jalan yuk!” ajak Radit.
I’m lazy! But, it’s ok!” balasku.
”OK! I want to buy something for someone!” ucapnya.
Apa dan untuk siapa, Dit?” tanyaku.
Radit hanya tersenyum. Kami selesai makan, kami pun berjalan menuju tempat parkir. Kami menuju salah satu mall terkemuka di Lampung. Radit memarkirkan mobilnya. Kami turun lalu masuk ke mall tersebut.
”Lo ingin beli apa, Dit?” tanyaku.
”Gua bingung, Bee! Kira-kira dia ingin dibelikan apa ya?” tanyanya balik.
”Dia itu cewek tomboy.” sambung Radit.
”Kok lo nggak beritahu gua sih kalau lo lagi suka sama cewek.” gerutruku.
”Gua nggak suka sama cewek itu! Tapi gua sayang banget sama dia, lo tau kok orangnya.” balas Radit.
Hmm, lo kasih kalung aja. Menurut gua mau cewek yang anggun ataupun cewek yang tomboy, kalau di kasih kalung pasti nggak di tolak.” jawabku.
”Eh tunggu, suka sama sayang perbedaannya apa?” tanyaku.
”Nanti lo juga tau sendiri.” jawab Radit
”Ayo!” seru Radit.
Kami berjalan menuju toko yang menjual kalung. Kami pun masuk ke dalam toko tersebut.
”Bee, tolong belikan gua minuman sih, haus nih!” pinta Radit.
Aku pun membelikannya minum. Sebenarnya aku malas tapi berhubung aku juga haus, aku membelikannya. Sekitar 10 menit aku kembali ke toko tersebut. Radit sudah menungguku di luar toko.
”Ih Radit! Lo kok nggak tunggu gua sih! Gua kan mau lihat bentuknya.” ucapku.
”Udah besok aja!” serunya seraya mendorongku perlahan dari belakang.
Lunch lagi ya!” ajaknya.
”Kan tadi udah.” balasku.
”Tadi gua nggak makan, gua tau lo juga nggak makan kan?” tanya Radit.
Aku mengangguk saja. Kami menuju resto yang ada di mall tersebut. Ketika kami tiba di resto itu, ternyata banyak anak SMANDA. Kami melewati anak-anak perempuan kelas 10.
”Kak Radit! Kak Tya!” sapa mereka.
”Iya!” balas kami serentak.
”Kalian mau lunch juga ya?” tanya salah satu diantara mereka.
”Iya!” jawabku.
”Gabung dengan kami saja, kak!” pinta anak itu.
Aku melirik ke arah Radit.
It’s ok!” seru Radit.
Kami bergabung dengan mereka dan segera memesan makanan.
”Kak Radit! Besok PA (Pecinta Alam) hiking ya? Kemana kak?” tanya anak yang duduk di depan Radit.
“Iya, ke daerah Batu Putu, kenapa?” tanya Radit balik.
“Nggak apa-apa kak, aku hanya tanya. Kak, kami boleh ikut nggak?” tanya anak itu lagi.
“Kamu kan bukan anggota PA, tapi berhubung pembina dan pelatih besok nggak ikut, nggak apa-apa.” jawab Radit.
Mereka semua jadi salah tingkah. Pesanan aku dan Radit datang. Kami pun menyantap pesanan kami tadi. Kami makan seperti biasa. Seusai kami makan, Radit membayar. Seluruh makanan yang kami semua pesan dibayar Radit.
Guys! Kami pergi duluan ya!” ucap Radit.
“Oh ya! Kalau kalian memang ingin ikut hiking datang jam 6 tepat ya.” sambung Radit.
“Sip kak!” balas mereka seraya mengacungkan jempol.
Aku dan Radit pergi.
“Sekarang kita mau kemana?” tanya Radit.
“Kita Photobox aja, Dit! Setuju nggak?” tanyaku balik.
“Apa sih yang nggak buat sahabat gua ini!” gumamnya.
Kami bergegas ke lantai 4 untuk Photo. Kami pun Photo. Setelah itu kami keluar dari tempat tersebut.
“Mau beli ice cream nggak?” tanya Radit.
“Boleh!” jawabku.
Aku duduk di kursi panjang. Radit membelikanku ice cream. Kami pun memakan ice cream seraya menuju 21 (Bioskop). Aku menelpon mama.
“Hallo, assalamualaikum!” seruku.
“Waalaikum salam!” balas mama.
“Ma, malam ini aku ingin nonton dengan Radit, seusai nonton kami langsung pulang kok.” pintaku.
“Iya, tapi jangan larut malam ya.” balas mama.
“Tenang, ma!” ucapku.
Radit mengantre untuk membeli tiket. Kami akan menonton film horror. Menonton film horror, sudah biasa untuk kami. Tapi entah mengapa saat menonton film ini aku merasa takut. Kami keluar dari Studio 1.
“Dit, nggak kerasa udah jam 9. Pulang yuk!” pintaku.
“Iya!” ucapnya.
Kami menuju tempat parkir. Lalu, menuju rumahku.
“Bee, jangan lupa besok pagi siap-siap. Gua jemput lo jam setengah 6 ya.” ucap Radit seraya aku turun dari mobilnya.
“Sip bos!” balasku.
Aku masuk ke rumah dan mempersiapkan peralatan yang di perlukan untuk besok. Mama dan papa masuk ke kamarku.
“Sibuk sekali kamu, nak?” tanya mama.
“Besok PA mengadakan hiking, ma!” jawabku.
“Oh, jangan terlalu lelah, sebaiknya setelah ini kamu tidur.” pinta mama.
“OK, ma!” balasku.
Mama dan papa keluar dari kamarku. Setelah mempersiapkan semua, aku tertidur.
Pukul 05.00 pagi mama dan papa membangunkanku. Aku bersiap-siap lalu sarapan. Pada pukul 05.30 tepat Radit menjemputku. Radit masuk ke dalam rumahku.
“Assalamualaikum!” serunya.
“Waalaikum salam!” balas aku, mama, dan papa.
“Radit, kamu sudah sarapan belum?” tanya mamaku.
“Sudah dong tante!” jawab Radit.
“Radit marahi saja Tya kalau dia nakal.” gumam mama.
“Ih mama, memangnya aku masih kecil.” gerutuku.
“Udahlah, ma, pa! Kami berangkat ya!” aku meminta izin.
“Hati-hati ya kalian. Radit tolong jaga Tya ya!” ucap papaku.
“Tenang aja, om!” balas Radit.
Aku dan Radit masuk ke dalam mobil Radit. Sebelum masuk ke mobil kami memasukkan barang-barang ke bagasi mobil Radit. Kami bergegas ke sekolah. Sekitar 10 menit berselang, kami tiba di sekolah.
“Bee, kita menurunkan barang-barangnya nanti saja ya.” ucap Radit.
Kami duduk di kursi taman.
“Rute perjalanannya bagaimana, Dit?” tanyaku.
“Seperti waktu itu, kita menuju air terjun Batu Putu.” jawab Radit.
“Dit, akhir-akhir ini perasaan gua nggak enak. Kenapa ya?” tanyaku.
“Jangan dirasakan. Coba positive thinking aja.” jawabnya.
Setelah menunggu beberapa saat, para anggota PA datang. Ketika semua berkumpul. Radit memberi pengarahan. Kelompok juga sudah dibagikan. Aku tergabung dalam kelompok 1 yang terdiri dari aku, Radit, Sheni, dan kedua teman Radit. Kami memulai perjalanan. Satu jam perjalanan telah kami lalui itupun baru setengah perjalanan. Radit mengizinkan kami untuk istirahat. Anak-anak yang bertemu kami di resto memberi Radit minuman. Aku dan Sheni hanya tertawa kecil. Ketika mereka pergi, aku dan Sheni kembali mendekati Radit.
“Ayo! Habiskan minumnya.” gumamku.
“Kalau nggak lo habiskan mereka kecewa.” tambah Sheni.
“Nggak mungkinlah gua minum semua.” balas Radit.
Kami bertiga tertawa. Lalu, kami melanjutkan perjalanan. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kami tiba di air terjun Batu Putu. Pemandangannya sangat indah. Ketika kami tiba, Radit memberi pengarahan sebentar. Setelah itu kami bersuka ria. Tak jauh dari letak air terjun, ada  tempat untuk outbond. Para anggota ke tempat outbond tersebut. Aku dan Radit tetap di tempat kami duduk semula.
“Bagaimana Bee, lo senang nggak?” tanya Radit.
“Nggak tau, Dit! Di satu sisi gua senang tapi di sisi lain gua sedih banget, gua nggak tau kenapa.” jawabku.
Why are you sad? We must be happy!” ucapnya.
“Nggak tau, Dit! Perasaan gua nggak enak banget.” balasku.
Air mataku kembali tak dapat kubendung. Aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini aku sering menangis dan perasaanku sering tidak menentu. Radit memelukku.
“Oh ya! Kata lo, lo mau tau kan bentuk kalung gua seperti apa dan untuk siapa?” tanya Radit.
Aku hanya mengangguk. Radit mengeluarkan kalung yang berbentuk bulan bintang. Tepatnya bintang yang berada di dalam bulan atau dapat dikatakan bulan yang melindungi bintang.
“Waw! Bagus banget, Dit! Cewek yang dapet kalung itu pasti senang.” ucapku.
“Cewek yang beruntung itu, lo! Sahabat sejati gua!” balas Radit.
“Gua pakaikan ya!” sambung Radit.
Aku mengangguk. Lalu, Radit memakaikan kalungnya.
Please! Don’t forget me!” bisik Radit.
“Apa maksud ucapan lo, Dit?” tanyaku.
Nothing!” jawabnya singkat.
“Ayo kita bergabung dengan yang lain! We’ll be happy!” ajaknya seraya menarik tanganku.
Entah mengapa aku teringat perkataannya. Dia berbisik “Don’t forget me!”. Jelas dia tahu aku takkan melupakannya. Kami pernah berjanji tidak akan memutuskan tali persahabatan kami. Aku merasa ada yang janggal dengan perkataannya tersebut. Apakah Radit ingin pindah, batinku. Tapi, kemungkinannya kecil. Aku melamun sendiri. Pandanganku melihat kearah teman-temanku yang bersenang-senang.
“Hei! Kok melamun? Ayo dong kumpul.” seru Radit.
Kami semua bersenang-senang bersama. Hari mulai terik. Kami beristirahat sejenak. Aku, Radit, Sheni, dan Arif berkumpul. Arif adalah teman Radit. Dia adalah wakil ketua PA dan dia juga sekelompok denganku.
“Dit! Hiking kali ini usul lo ya? Biasanya kan kita hiking sebulan sekali, sedangkan 2 Minggu lalu kita baru hiking. Di tempat yang sama lagi.” ucap Arif.
“Iya, gua yang mengusulkan dengan pak Thomi.” balas Radit diiringi dengan tawanya.
“Ya! Sepertinya tadi lo nggak pakai kalung deh, kok sekarang pakai? Gua juga belum pernah lihat, dari siapa?” tanya Sheni.
“Dari Radit.” jawabku.
“Huu, Radit curang yang dibelikan kalung hanya Tya, untuk gua mana?” tanya Sheni lagi.
Radit hanya tertawa. Radit berdiri.
Guys! Cukup sampai disini hiking kita, untuk selanjutnya kalian dipersilahkan pulang, yang tadi pagi membawa mobil dan diparkirkan di sekolah dimohon untuk kembali ke sekolah menggunakan beberapa mobil yang ada.” jelas Radit.
“Sebelumnya, saya minta maaf jika ada salah kata atau perbuatan dengan kalian yang disengaja ataupun tidak.” lanjut Radit.
Seluruh peserta hiking berhamburan memasuki mobil termasuk Sheni dan Arif. Yang membawa mobil-mobil itu adalah Diki, Haryadi, sopirku, dan sopir Radit. Diki dan Haryadi adalah salah satu anggota PA. Sedangkan aku dan Radit menggunakan motor Diki. Aku dan Radit naik motor. Kami mendahului teman-teman yang naik mobil. Sekitar 30 menit perjalanan telah kami tempuh, akhirnya kami tiba di SMANDA. Di SMANDA kami tidak langsung pulang.
Guys! Sekarang kita ke PKOR ya, gua mau traktir kalian semua.” Ucap Radit.
Seluruh peserta hiking bersorak gembira, seperti biasa yang paling senang adalah anak-anak cewek kelas 10. Kami menempuh perjalanan menuju PKOR kurang lebih 20 menit. Setibanya kami disana, seluruh anak bebas memesan makanan. Aku dan Radit memisahkan diri dari yang lain sebentar.
“Dit! Kok lo tiba-tiba meneraktir anak-anak?” tanyaku.
Radit hanya tertawa.
“Dit! Gua benar-benar nggak mengerti lo hari ini. Lo itu hari ini aneh banget.” lanjutku.
“Udah ah jangan membahas itu lagi. Sekarang kita makan siang aja, lapar nih!” ucap Radit.
Kami bergabung untuk makan siang bersama. Banyak anak kelas 10 bergabung dengan Radit. Radit pun tidak berkeberatan. Kami semua bersenda gurau bersama. Aku terlarut dalam kegembiraan itu. pada pukul 14.20 kami selesai. Kami semua kembali untuk pulang. Radit mengantarku. Di mobil kami berbincang.
“Dit! Gua masih nggak mengerti apa maksud lo membisikkan ‘don’t forget me’ gua bukan nggak mengerti artinya, tapi maksud perkataan lo itu.” ucapku.
“Jangan terlalu dipikirkan!” balasnya.
“Eh Bee lo ingat nggak waktu kita di SMP di hukum di tengah lapangan gara-gara ngerjain anak-anak sekelas dan lo hampir pingsan disitu.” jelas Radit.
“Ih Radit, jangan ingat-ingat itu lagi!” balasku.
Tiba-tiba mobil Radit berhenti.
“Gua ingin lo tahu! Kalau lo adalah sahabat sejati gua, gua nggak akan bisa kalau lo jauh dari gua. Gua sayang banget sama lo Bee.” ucap Adit.
“Iya, Dit! Gua juga sayang sama lo. Sayang banget. Gua nggak akan bisa jauh dari lo. Please jangan tinggalin gua!” balasku.
“Walau nanti lo jauh dari gua lo harus tetap semangat.” nasihat Radit.
Kami kembali menuju rumahku. Sekitar 5 menit, kami tiba di rumah. Radit tak masuk. Ia langsung pulang. Aku mandi sore setelah itu belajar. Pada pukul 19.20 aku langsung tertidur karena kelelahan.
Pagi harinya, aku sholat subuh bersama keluargaku. Seusai sholat, aku bersiap untuk ke sekolah. Mama dan papa juga bersiap untuk ke rumah sakit. Hari ini aku membawa mobil. Aku tiba di sekolah. Aku menunggu Radit, Sheni, dan Arif. Sheni dan Arif datang terlebih dahulu. Mereka menemuiku.
“Lo menunggu siapa, Ya?” tanya Sheni.
“Menunggu Radit, nggak biasanya Radit belum datang.” jawabku.
Handphone-ku berbunyi. Ternyata dari mama Radit.
“Assalamualaikum, Tya! Sekarang kamu ke rumah sakit. Radit kecelakaan.” seru mama Radit.
“Radiiiiit!” teriakku yang terkejut dan mengejutkan semua orang yang ada disana. Lalu masuk ke mobil.
Sheni dan Arif mengikutiku. Semua mata tertuju pada kami. Jarak rumah sakit dari sekolahku dekat. Tak lama kami menuju ruang UGD. Rumah sakit itu adalah rumah sakit  milik keluargaku. Aku menghampiri orang tua Radit. Mama Radit langsung memelukku.
“Tante bagaimana keadaan Radit?” tanyaku yang terus mengeluarkan air mata.
“Tante belum tahu Tya. Mama dan papa kamu sedang menangani Radit.” jawab mama Radit.
“Mengapa Radit bisa kecelakaan? Dia naik apa?” tanyaku.
“Radit naik motor, kata bapak yang melihat, ada motor lain yang menabrak motor Radit, lalu Radit kehilangan keseimbangan dan tertabrak mobil." jawab mama Radit.
Aku memeluk mama Radit dengan erat. Lama, mama, papa, ataupun perawat tidak ada yang keluar dari ruang UGD. Ketika kami tiba di rumah sakit, Arif sudah izin ke guru piket.
“Tan! Kenapa lama sekali?” tanyaku yang tak sabar dengan air mata yang membajiri wajahku.
“Sabar ya sayang. Tante dan om juga khawatir.” jawab mama Radit.
Beberapa perawat keluar dari ruang UGD. Aku, orang tua Radit, Sheni, dan Arif mendekati ruang UGD. Mama dan papa keluar.
“Bagaimana keadaan Radit?” tanya papa Radit.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, mas! Tapi…” jawab papa terputus.
Aku dan orang tua Radit masuk ke dalam ruang UGD disusul oleh orang tuaku, Sheni, dan Arif. Aku terasa tak berdaya lagi, jantungku terasa berhenti berdetak, aku tak tahu perasaanku saat ini. Hatiku terasa seperti teriris pisau tajam, sangat tajam. Aku memeluk erat Radit. Tubuhnya terbujur kaku dan dingin. Bibirnya seperti tersenyum. Orang tua Radit mengurus segala keperluan Radit. Orang tua Radit sedih bukan main. Tapi sepertinya orang tua Radit sudah dapat menerimanya.
Arif mengabari sekolah bahwa Radit telah tiada. Sedangkan Sheni mengabari teman-teman Radit. Aku tak kuasa menahan tangis dan tak kuasa melepaskan pelukanku pada Radit. Aku tak berdaya untuk berdiri dan akhirnya aku terjatuh. Mama Radit membantuku.
“Tya! Tante juga sedih, Radit sudah tiada, kita harus menerimanya. Kesedihan tante dan om melebihi kamu, Radit adalah anak tunggal tante dan om, dan sekarang dia sudah meninggalkan kami untuk selamanya.” mama Radit menenangkanku.
“Nggak bisa tante, aku sangat menyayangi Radit!” ucapku.
“Benar sayang, Radit nggak mau kamu menangis. Tadi Radit sadar sebentar dan berpesan agar kita semua tidak sedih.” ucap mamaku.
“Jadi, Radit sudah tahu kalau…” kataku terputus.
Mama mengangguk.
***
Speaker sekolah yang berada di setiap sudut SMANDA membantu sekolah untuk mengumumkan pengumuman. SMANDA sedang melaksanakan upacara. Pembina upacara mengumumkan:
“Telah berpulang ke rahmatullah teman, murid, kakak, sahabat kita yang juga salah satu siswa SMANDA yang bernama Raditya Alfarizi pada pukul 07.46 wib karena kecelakaan, keluarga meminta maaf atas kesalahan yang pernah Radit lakukan pada kalian dan meminta doanya.” jelas kepala sekolah.
Seluruh siswa terkejut, beberapa gurupun terkejut. Bahkan banyak siswa yang menangis. Guru-guru banyak yang sedih ada juga yang menangis. Wajar saja Radit adalah siswa yang berprestasi, baik, ramah, dan masih banyak keistimewaan yang dimiliki Radit melebihi siswa lainnya. Banyak yang tidak percaya akan hal tersebut.
“Satu pengumuman lagi, hari ini seluruh guru akan mengadakan rapat di Dinas Pendidikan dan kalian pulang pukul 09.00. Untuk anak-anak kelas 12 IPA1, sekarang kalian bersama guru-guru akan ke rumah duka. Jadi, persiapkan barang-barang kalian.” lanjut kepala sekolah.
***
Aku kembali berdiri dan menatap wajah Radit yang kaku dan tersenyum.
“Dit! Kenapa lo pergi secepat ini! Gua belum siap, Dit! Please Dit, bangun dari tidur lo. Please Dit ucapkan satu kata aja atu gerakkan satu saja jari lo Dit!” ucapku yang masih menangis.
“Sayang, Radit tidak akan bangun. Kamu harus terima ini semua, om dan tante juga sedih tapi kami coba berpikir kalau kita sedih, Radit juga akan sedih dan dia tidak tenang.” ucap mama Radit lagi.
Aku tetap menangis. Orang yang sangat kusayang selain orang tuaku telah pergi dan takkan kembali. Aku belum ikhlas atas kepergian Radit. Aku menyayangimu Dit, Kami menyayangimu, batinku. Sheni, Arif, mamaku, dan mama Radit melihatku. Mama Radit mendekati tubuh anaknya yang telah terbujur kaku. Lalu, beliau mencium kening anaknya. Sheni dan Arif juga menangis.
“Gua akan nyusul lo, Dit!” seruku.
“Apa yang kamu bicarakan! Kamu tidak boleh seperti itu, kita semua manusia biasa kita semua pasti akan kembali kepada Allah.” ucap mamaku.
“Benar kata mamamu, sayang!” tambah mama Radit.
Papaku dan papa Radit masuk.
“Semua sudah siap!” ucap papa Radit.
Jenazah Radit akan dipindahkan ke rumah duka menggunakan ambulans.
Rif, tolong bawa mobil gua!” ucapku seraya melempar kunci mobil pada Arif. Aku, papa, dan mama Radit ikut mobil ambulans. Orang tuaku dan orang tua Radit mengizinkannya. Ambulans tiba di rumah duka. Orang tuaku, Arif, dan Sheni yang mengikuti ambulans dari belakang juga tiba di rumah Radit. Rumah Radit sudah ramai, sanak saudara. para tetangga, rekan orang tua Radit, pekerja di perusahaan keluarga Radit, tak lupa teman-teman dan guru-guru kami datang.
Jenazah Radit di pindahkan ke dalam rumah duka. Mama Radit keluar dari ambulans seraya memelukku. Aku sangat tak berdaya dan hampir pingsan. Sheni dan Arif membantuku, mama Radit menyuruh Sheni dan Arif membawaku ke kamar Radit.
“Tya! Please, jangan seperti ini. Radit akan sedih melihat lo seperti ini.” pinta Sheni.
Aku tak menghiraukan ucapan Sheni. Aku terus menggenggam kalung pemberian Radit terakhir kalinya.
“Gua mengerti!” ucapku.
“Apa maksud lo?” tanya Arif.
“Waktu kita hiking, Radit memberikan kalung ini dan berbisik ‘don’t forget me!’ waktu gua tanya dia hanya senyum." Aku langsung mengambil fotoku dan Radit yang ada di kamar Radit.
Kami bertiga keluar. Kami langsung bergabung dengan anak-anak SMANDA dan beberapa guru.
“Tya! Lo tau darimana bahwa Radit kecelakaan?” tanya teman perempuan sekelasku.
“Mama Radit!” jawabku seadanya.
Mama Radit menghampiriku yang sedang bersama anak-anak SMANDA.
“Tya! Kata mama kamu tadi Radit memberitahu ada sesuatu di tasnya, kamu tolong carikan ya. Tante kesana dulu.” ucap mama Radit seraya memberikan tas Radit. Mama Radit masih menangis tapi sedikit lebih tenang.
Aku memeriksa tas Radit. Semua mata anak SMANDA yang ada di dekatku tertuju pada tas Radit. Aku mendapatkan satu kunci. Aku ingat Radit pernah memberitahuku bahwa kunci itu adalah kunci lacinya, karena di lacinya ada sesuatu hal rahasia. Aku berjalan cepat menuju kamar Radit. Sheni menyusulku. Sedangkan Arif memeriksa barang lain di tas Radit. Di kamar Radit aku mulai mencoba mencocokkan kunci dengan beberapa laci yang ada.
Sheni hanya memperhatikanku. Aku tetap menangis. Aku mencoba pada laci terakhir yang ternyata memang benar itu kuncinya. Aku membuka laci itu secara perlahan. Ada 2 buah surat yang berwarna biru dan hijau. Ada nama di surat tersebut. Yang hijau untuk orang tuanya dan yang biru untukku. Aku duduk dan langsung membuka surat yang ditujukan padaku. Sheni tetap berdiri di tempatnya semula. Aku duduk di bed Radit. Perlahan aku membuka surat berwarna biru tersebut. Sheni hanya memperhatikanku di tempatnya.
Aku membuka surat berwarna biru itu, isi dari surat tersebut adalah:

Dear Bee..
Bee, thanks untuk semua yang telah lo beri untuk gua. Thanks untuk persahabatan indah kita. Thanks udah mau jadi sahabat sejati gua. Thanks udah mau dengar curhatan gua. Gua tau gua memang bukan sahabat yang baik untuk lo. Tapi selama ini gua udah berusaha semaksimal mungkin untuk jadi sahabat lo. Bee, maafin gua ya selama ini gua banyak salah sama lo. Akhir-akhir ini gua sering buat lo marah dan gua sering buat lo nangis. Gua melakukan itu hanya untuk memberikan kenangan yang takkan terlupakan untuk lo. Satu permintaan gua untuk lo, jangan pernah berubah jadi orang lain, lo adalah lo, tetaplah menjadi Bee  yang gua kenal. Tetaplah menjadi Bee yang baik.
Banyak kenangan yang kita lalui bersama. Gua ingat waktu kita bertemu di SD pada saat kita kelas 1 SD, kita mulai dekat kita berteman biasa. Ternyata orang tua kita saling kenal. Sewaktu SD kita selalu bermain bersama. Masa kecil yang sangat indah dengan lo, Bee. Sewaktu SMP kita satu sekolah lagi. Masa-masa kita mulai mengenal persahabatan. Tak terasa kita telah melalui kenangan SMP dan masuk SMA. Kitapun satu sekolah lagi. Masa SMA yang memberitahu kita akan arti sahabat sejati. Cerita-cerita itu akan terkenang dalam hati gua selamanya. Bee, tolong anggap mama dan papa gua sebagai orang tua lo ya kalau gua udah nggak ada. Gua ingin lo menjadi pengganti gua agar mereka tidak akan merasa kesepian.
Bee, lo akan selalu ada di dalam hati gua karena lo adalah sahabat sejati gua. Lo adalah orang yang paling gua sayang setelah orang tua gua. Gua menyiapkan surat ini untuk lo. Kalau gua udah nggak ada di dunia ini, gua mohon jangan lupain gua. SAHABAT SEJATI SAMPAI MATI! GUA AKAN MENUNGGU LO DI SURGA!

By. Radit

Aku terdiam dan menangis membaca surat singkat ini. Sheni mendekatiku.
“Tya! Ayo kita keluar!” ajak Sheni yang menyadarkanku dari lamunanku.
Aku dan Sheni keluar. Sheni kembali bergabung dengan anak-anak SMANDA dan beberapa guru yang ada disana. Mama dan papaku membantu menerima tamu. Aku menghampiri mama Radit.
“Tante! Aku menemukan surat ini. Di surat ini tertulis ‘untuk mama dan papa’.” ucapku seraya memberi surat.
Aku langsung berkumpul dengan Sheni, Arif, dan lainnya.
“Tya! Apa yang kamu temukan?” tanya guru bahasa Indonesia-ku yang masih muda.
Teman-temanku juga memandangi kami.
“Sebuah surat.” jawabku seadanya.
“Boleh saya lihat?” tanya guruku itu.
Aku mengangguk lalu memberikan surat itu. Sheni, Arif, Diki, dan beberapa temanku membaca surat itu. guru-guru berpamitan karena mereka akan pergi ke Dinas Pendidikan. Sedangkan anak-anak SMANDA yang lain tetap di rumah duka. Aku tak bisa berhenti menangis aku menangis dekat jenazah Radit, mama Radit mendekatiku.
“Bangun, Dit! Please! Ucapkan sepatah kata aja! Please!” bisikku.
“Dit! Bicaralah! Beritahu gua kalau ini hanya mimpi! Ini hanya mimpi. Bangunkan gua dari mimpi panjang ini!” sambungku.
Sheni dan Arif mendampingiku. Jenazah Radit akan dimandikan. Aku kembali bergabung dengan teman-temanku. Tak berapa lama semua selesai. Radit akan dibawa ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) keluarganya dengan menggunakan ambulans. Mobil yang aku gunakan berada tepat di belakang mobil ambulans. Akhirnya kami tiba di tempat pemakaman umum. Semua siap. Jenazah Radit akan dimasukkan ke liang lahat. Tak terasa semua selesai. Aku menaburkan bunga. Perlahan orang-orang meninggalkan tempat pemakaman.  Termasuk orang tuaku dan orang tua Radit.
Aku mulai dapat menerima semua. “Selamat jalan sahabat terbaikku, sahabat sejatiku. Lo akan selalu ada di dalam hati gua, Dit! Gua nggak akan melupakan lo Dit, selamanya! Kita pasti akan bertemu lagi. Bertemu di alam lain. Semoga kau tenang sobat. You are the best! Best of the best! We’re best friend forever. Love you!” kataku.
Perlahan aku meninggalkan pemakaman. Dengan air mata yang masih membasahi wajahku. Aku tahu aku pasti akan sangat kehilangan. Tapi ini sudah takdir. Allah pasti memberikan hikmah besar dibalik ini semua. Ya allah, lindungilah sahabatku. Berilah ia tempat yang layak disisimu. Amin. Batinku. Aku akan mencoba menerima kenyataan pahit ini. Aku takkan membuatmu sedih disana dan aku akan menjadi yang kau inginkan. Aku pasti akan membanggakanmu dan orang tuaku.

- S E L E S A I  -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar