Sabtu, 04 Februari 2012

Penyesalan (Part. 2)

“Tyara! Mengapa kamu melepaskan infusmu?” tanya mama, “kamu baru sadarkan diri!”

“Kalau kalian nggak ada yang bisa mencari kak Alvin, biar aku saja yang mencarinya sendiri!” jawabku.

“Tyara stop!!” seru papa.

Aku tetap pergi. Rey mengejarku lalu dia menahanku.

“Biarkan gua menemani lo!” ucap Rey.

“Nggak Rey, lo tetap disini!” balasku.

“Gua nggak akan memaafkan diri gua sendiri kalau terjadi sesuatu dengan orang yang gua sayang!” tegas Rey.

Aku ke tempat parkir dengan Rey.

“Sekarang kita kemana?” tanya Rey.

“Entahlah. Apa lo nggak tau sama sekali kak Alvin dimana?” tanyaku balik.
Handphone-nya nggak aktif dan sebelumnya dia nggak memberitahu sama sekali.” jawab Rey.
“Apa lo tau rumah teman-teman Alvin disini?” tanya Rey.
“Iya.” jawabku yang memberitahu alamat teman-teman Alvin.
Aku dan Rey sudah mencari ke rumah 3 orang teman kak Alvin. Tapi hasilnya nihil. Rey mengangkat telepon.
“Gua tau dimana Alvin, om Dharma baru saja menelepon, katanya anak buahnya sudah mendapatkan informasi dimana Alvin dan gua tau letak alamat yang diberitahu om Dharma tadi. Anak buahnya on the way kesana.” jelas Rey.
Dengan kecepatan tinggi kami segera ke tempat itu. Butuh waktu 2 jam untuk ke tempat itu, itupun dengan kecepatan tinggi. Sepertinya jalan yang kami lalui menuju ke sebuah perkampungan. Sekeliling kami adalah kebun karet. Jalanan yang sangat sepi dan menurutku ini jalan yang menakutkan.
“Rey, ini dimana? Gua takut!” ucapku.
“Tenang Bee, berdoa saja ya. Allah always protects us.” balasnya.
“Rey, i-itu bukannya kak Alvin!” ucapku seraya menunjuk ke arah kak Alvin dan ketiga orang yang ada disana.
Aku dan Rey menghampiri kak Alvin.
“Kak Alvin!” seruku.
“Rey! Bawa Tyara pergi! Cepat!” perintah kak Alvin.
“Ada apa?” tanya Rey.
“Cepat!!” perintah kak Alvin.
Aku tetap berdiri di tempatku. Rey sudah mengajakku pergi, tapi aku tidak akan meninggalkan kak Alvin.
“Apa mau kalian? Kalau kalian ingin mengambil barang-barang saya ambil saja dan pergi!” seru kak Alvin.
“Santai dong! Kami akan pergi kalau cewek cantik itu ikut dengan kami!” jawab salah seorang diantara mereka.
“Ayo neng, ikut kami. Kita bersenang-senang!” seru yang lainnya.
Aku ketakutan dan menangis. Aku langsung memeluk Rey yang ada di dekatku.
“Rey takut...” ucapku.
“Lo tunggu disini, gua akan membantu Alvin!” seru Rey yang langsung maju untuk membantu kak Alvin.
Salah satu diantara preman itu mendekatiku. Aku yang ketakutan dengan refleks berjalan mundur hingga menabrak sebuah pohon. Preman itu mengeluarkan pisau-nya.
“Ayo neng, ikut kami atau kamu ingin wajahmu yang cantik dan bersih ini cacat karena pisau tajam ini?” ancamnya.
“Hei! Jangan berani menyentuh dia atau lo akan mati!” seru kak Alvin yang sudah mengalahkan salah satu diantara mereka.
Kak Alvin mendekat kearahku.
“Sekali lo maju, cewek lo ini akan mati!” serunya yang mengarahkan pisaunya kearahku.
Ya Allah, tolong aku. Hanya kepada-Mu aku meminta dan hanya kepada-Mu aku memohon ya Allah. Lindungi kami dari semua ini ya Allah. Aku hanya bisa memejamkan mataku.
“Alviiiin!!” teriak Rey.
Aku membuka mataku dan melihat kak Alvin sudah terjatuh dan bersimpuh darah dengan sebilah pisau tajam yang menancap di perutnya. Seorang preman itu lari dan dua lainnya langsung melepaskan Rey. Mereka semua lari.
“Kak Alviiiin!” teriakku yang langsung menghampiri kak Alvin, sedangkan Rey menelepon papa.
“Kak Alvin bangun kak! Tolong bangun kak!” ucapku yang menangis dan memeluk kak Alvin yang terbaring di tanah.
Kak Alvin tersenyum, “Ka-kak se-nang, ka-li i-ni ka-kak bi-sa me-lin-du-ngi ka-mu. Ka-kak sa-ngat me-nya-ya-ngi ka-mu dek...”
“Kak Alvin! Jangan tinggalkan aku kak! Kakak aku butuh kakak!” seruku.
“Tyara! Alvin pasti selamat! Sekarang kita ke lapangan terdekat, om Dharma akan kesini dengan Heli!” seru Rey yang mengangkat Alvin dan memasukkannya ke mobil.
Aku hanya bisa menangis. Ya Allah tolong selamatkan kak Alvin, aku tak ingin terjadi apapun padanya. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama keluargaku yang utuh. Aku tau aku terlalu egois, aku menyadari itu ya Allah. Maafkan keegoisanku ya Rabb...
Sekitar 15 menit kemudian papa tiba. Aku dan kak Alvin menggunakan Heli, sedangkan Rey menggunakan mobil. Membutuhkan waktu singkat untuk ke rumah sakit jika menggunakan Heli. Setibanya di rumah sakit, kak Alvin langsung di tangani. Aku dibantu Tasya untuk berjalan ke ruang UGD.
“Sya, gua nggak kuat, gua takut Sya!” ucapku.
“Lo nggak boleh lemah, Ra! Lo harus kuat, kalau lo kuat insyaallah kak Alvin juga kuat.” Tasya memelukku.
Salah seorang dokter keluar dari ruang UGD. Aku dan Tasya masuk ke ruang UGD. Rey menghampiri kami dengan terburu-buru.
“Bagaimana?” tanya Rey seraya mencoba mengatur napasnya.
“Entahlah...” jawab Tasya.
Kami bertiga masuk ke ruang UGD. Aku melihat papa dan mama menangis. Ada apa dengan kak Alvin? Ya Allah sembuhkan dia. Apakah aku terlambat menyadari bahwa aku sangat menyayangi dan sangat membutuhkannya? Aku langsung memeluk mama.
“Ada apa, ma?” tanyaku yang masih terisak.
Mama menyuruhku mendekat dengan kak Alvin.
“Jangan menangis lagi...” ucap kak Alvin yang menghapus air mataku dengan tangannya yang masih lemah.
“Kakak jangan banyak bicara dulu.” balasku yang semakin terisak dan menggenggam erat tangannya.
“Temani kakak ke danau belakang...” pinta kak Alvin.
“Ta-tapi kak...” bantahku.
“Ma, pa, kalian mau kan menemani Alvin?” tanya kak Alvin.
Papa dan mama mengangguk. Ya Allah, apakah ini pertanda dari-Mu? Apakah Engkau ingin mengambil kakakku? Apakah ini hukuman untukku karena selama ini aku menyia-nyiakan kak Alvin? Setelah dipindahkan ke kursi roda, aku, kak Alvin, papa, dan mama keluar diikuti dengan Rey dan Tasya. Aku menggenggam erat tangan kak Alvin. Kami tiba di tepi danau buatan yang memang sengaja dibuat di lingkungan rumah sakit milik keluargaku.
“Kak, maafkan aku, karena aku kakak jadi seperti ini! Maaf kak, maaf...” isakku yang langsung memeluk kak Alvin.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, dek. Hapus air matamu, kakak nggak mau melihat kamu menangis! Life must go on!” balas kak Alvin membelai rambutku.
“Oh ya, kalung ini untuk kamu, kakak memesannya khusus untuk kamu sejak lama. Simpan kalung itu baik-baik ya!” ucap kak Alvin yang memberikan kalung itu.
“Rey, tolong jaga dan lindungi Tyara untuk gua!” pinta kak Alvin yang melihat Rey.
“Ma, pa, you’re the best for me. Tanpa kalian Alvin bukan apa-apa. You’re always in my heart. Love you...” ucap kak Alvin yang melihat lemah kearah mama dan papa. Lalu melihat kearahku.
You’re my everything, my beloved sister!” ucap kak Alvin.
“Semoga suatu saat kita dapat berkumpul lagi menjadi keluarga yang bahagia...” harapnya.
Aku tak kuasa menahan tangis. Aku langsung memeluk kak Alvin, begitupun mama dan papa.
“Amin ya Rabb...” balas mama yang menangis dan mencium kening kak Alvin.
Aku merasakan tubuh kak Alvin yang lemah dan tak bergerak. Aku melepaskan pelukanku, mama dan papa pun serupa. Papa memeriksa nadi kak Alvin.
“Pa, beritahu aku kalau kak Alvin hanya pingsan. Iyakan pa, ma?” tanyaku yang terisak dan menggetarkan lengan papa.
“Pa, ma! Jawab! Tolong jawab!” isakku.
Aku terjatuh. Mama dan papa mulai menangis. Papa memeluk mama. Rey dan Tasya menenangkanku.
“Rey! Sya! Bilang ke gua kalau ini semua hanya mimpi kan? Bilang Rey, Sya!” ucapanku meninggi bercampur dengan tangisan.
Rey mendekapku. Tasya menepuk kecil pundakku. Beberapa dokter dan perawat berkumpul di danau itu dan membawa kak Alvin. Mama dan papa mengikutinya. Tasya membantu mama yang sedang menangis. Aku tak mampu berdiri. Kakiku terasa lumpuh. Hatiku seperti tersayat pisau tajam, sangat tajam. Yang kini dapat kulakukan hanya menangis. Rey menatapku dan menghapus air mataku.
“Ini semua salah gua kan Rey? Kalau kak Alvin nggak menolong gua, dia pasti masih hidup! Kalau gua mengikuti perintah kak Alvin untuk pergi, kak Alvin nggak perlu menolong gua dan dia masih ada disini, Rey! Kenapa bukan gua yang seperti itu kenapa harus kak Alvin! Kak Alvin selalu melindungi gua, tapi gua nggak pernah berbuat apapun untuknya bahkan gua pernah membencinya, Rey!” jelasku yang masih menangis.
“Alvin pasti bahagia, Bee, usahanya untuk melindungi lo nggak sia-sia. Ini yang dia inginkan, melindungi lo walaupun itu berarti harus mengorbankan dirinya. He loves you more than anything, Bee! “ ucap Rey.
“Sebaiknya sekarang kita temui om Dharma dan tante Rena ya...” saran Rey. Aku berjalan dibantu Rey.
Ya Allah, mengapa Engkau menghukumku dengan cara seperti ini? Disaat aku baru menyadari semuanya. Disaat aku menyadari bahwa aku sangat menyayanginya dan membutuhkannya. Disaat kami ingin bahagia. Disaat keluargaku berkumpul kembali. Ya Allah, apa rencana-Mu sesungguhnya? Mengapa Engkau tak mengizinkanku untuk bahagia? Ya Allah, sampaikanlah maafku kepadanya. Kakak andai saja kakak mendengarku, maafkan aku karena semua keegoisanku, maafkan aku karena tidak menyadari kasih sayangmu yang begitu besar untukku, maafkan aku karena telah menyia-nyiakanmu, maafkan aku karena tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu. Andai saat ini kakak ada dihadapanku I will say, I proud of you, I proud because I have the best brother who always protect me more than anything! I love you my beloved brother! I love you more than anything...
Ketika melihat mama, aku langsung memeluknya. Mama masih terisak. Sedangkan papa sedang mengurus jenazah kak Alvin.
“Ma, semua ini salah Tyara kan, karena Tyara kak Alvin jadi seperti ini, iyakan, ma?” tanyaku yang masih terisak.
Mama menghapus air mataku, “Tidak sayang, ini sudah takdir Allah. Mungkin Allah mempunyai tujuan lain untuk kakakmu dan keluarga kita. Alvin pasti bahagia disana karena dia bisa melindungi adik yang sangat dia sayangi.” ucap mama yang mencoba menenangkanku.
Jenazah kak Alvin dibawa ke rumah duka menggunakan mobil ambulans. Aku, mama, dan papa juga menggunakan mobil ambulans yang sama. Di rumah duka semua telah disiapkan oleh sanak keluargaku. Semua orang yang kami kenal telah berkumpul mulai dari keluarga, teman-teman orang tuaku, aku, dan kak Alvin, guru-guru SD dan SMP kak Alvin, rekan-rekan kerja orang tuaku, dan masih banyak yang lainnya. Aku, mama, dan papa duduk di dekat jenazah kak Alvin. Aku terus menggenggam kalung pemberian kak Alvin yang indah dan sangat berarti untukku. Ketika jenazah kak Alvin dimandikan, aku dan Tasya ke kamar kak Alvin. Aku melihat foto-fotonya dan foto-foto kami sewaktu kecil. Aku kembali menangis. Aku memeriksa laci mejanya dan melihat beberapa surat pentingnya. Aku menemukan selembar surat yang berbeda. Surat itu ditulis bukan diketik, sedangkan surat lainnya diketik. Aku membacanya...

Ya Allah...
Andai waktu dapat terulang kembali
Aku tak ingin ada air mata yang membasihi wajahnya
Aku berharap tak ada kebencian dalam hidupnya

Ya Allah...
Andai waktu dapat terulang kembali
Biarkan aku melihat senyum indahnya
Izinkan aku untuk menghapus air matanya

Ya Allah...
Izinkan aku untuk menjaga dan melindunginya
Izinkan aku memberikan kebahagiaan dalam hidupnya
Izinkan aku menemani setiap langkahnya

Ya Allah...
Berikanlah aku kekuatan untuk menjadi dewasa
Agar aku dapat memberikan arti hidupku kepada siapapun yang mengenalku
Especially for you, Tyara...

Aku menangis membaca tulisan-tulisan kak Alvin. Aku merasa seperti orang yang sangat egois. Aku merasa seperti orang yang tak berguna. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Ya Allah, apa yang dapat aku lakukan setelah ini tanpa kak Alvin di dekatku...
Aku keluar dari kamar. Setelah di sholatkan, jenazah kak Alvin dibawa ke pemakaman keluargaku menggunakan ambulans. Dalam waktu singkat aku seperti kehilangan separuh hidupku. Aku menangis melihat tanah yang baru saja ditimbun. Aku menangis saat menabur bunga di atas timbunan tanah itu. Aku menangis melihat nisan kak Alvin. Mama dan papa memelukku.
Ya Allah, aku mohon berikan kakakku tempat yang layak disisimu. Sayangi dia seperti dia menyayangiku. Lindungi dia seperti dia melindungiku. Hapus air matanya seperti dia menghapus air mataku.
Still. I can’t stop my tears falling down when I recall our memories. When I remember what you’ve done for me. Thanks for your love, my beloved brother...
 END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar