“Tyara!
Mengapa kamu melepaskan infusmu?” tanya mama, “kamu baru sadarkan diri!”
“Kalau
kalian nggak ada yang bisa mencari kak Alvin, biar aku saja yang mencarinya
sendiri!” jawabku.
“Tyara
stop!!” seru papa.
Aku tetap
pergi. Rey mengejarku lalu dia menahanku.
“Biarkan gua
menemani lo!” ucap Rey.
“Nggak Rey,
lo tetap disini!” balasku.
“Gua nggak
akan memaafkan diri gua sendiri kalau terjadi sesuatu dengan orang yang gua
sayang!” tegas Rey.
Aku ke
tempat parkir dengan Rey.
“Sekarang
kita kemana?” tanya Rey.
“Entahlah.
Apa lo nggak tau sama sekali kak Alvin dimana?” tanyaku balik.
“Handphone-nya
nggak aktif dan sebelumnya dia nggak memberitahu sama sekali.” jawab Rey.
“Apa lo tau rumah teman-teman Alvin disini?” tanya Rey.
“Iya.” jawabku yang memberitahu alamat teman-teman Alvin.
Aku dan Rey sudah mencari ke rumah 3 orang teman kak
Alvin. Tapi hasilnya nihil. Rey mengangkat telepon.
“Gua tau dimana Alvin, om Dharma baru saja menelepon,
katanya anak buahnya sudah mendapatkan informasi dimana Alvin dan gua tau letak
alamat yang diberitahu om Dharma tadi. Anak buahnya on the way kesana.” jelas Rey.
Dengan kecepatan tinggi kami segera ke tempat itu. Butuh
waktu 2 jam untuk ke tempat itu, itupun dengan kecepatan tinggi. Sepertinya
jalan yang kami lalui menuju ke sebuah perkampungan. Sekeliling kami adalah
kebun karet. Jalanan yang sangat sepi dan menurutku ini jalan yang menakutkan.
“Rey, ini dimana? Gua takut!” ucapku.
“Tenang Bee, berdoa saja ya. Allah always protects us.” balasnya.
“Rey, i-itu bukannya kak Alvin!” ucapku seraya menunjuk
ke arah kak Alvin dan ketiga orang yang ada disana.
Aku dan Rey menghampiri kak Alvin.
“Kak Alvin!” seruku.
“Rey! Bawa Tyara pergi! Cepat!” perintah kak Alvin.
“Ada apa?” tanya Rey.
“Cepat!!” perintah kak Alvin.
Aku tetap berdiri di tempatku. Rey sudah mengajakku
pergi, tapi aku tidak akan meninggalkan kak Alvin.
“Apa mau kalian? Kalau kalian ingin mengambil
barang-barang saya ambil saja dan pergi!” seru kak Alvin.
“Santai dong! Kami akan pergi kalau cewek cantik itu ikut
dengan kami!” jawab salah seorang diantara mereka.
“Ayo neng, ikut kami. Kita bersenang-senang!” seru yang
lainnya.
Aku ketakutan dan menangis. Aku langsung memeluk Rey yang
ada di dekatku.
“Rey takut...” ucapku.
“Lo tunggu disini, gua akan membantu Alvin!” seru Rey
yang langsung maju untuk membantu kak Alvin.
Salah satu diantara preman itu mendekatiku. Aku yang
ketakutan dengan refleks berjalan mundur hingga menabrak sebuah pohon. Preman
itu mengeluarkan pisau-nya.
“Ayo neng, ikut kami atau kamu ingin wajahmu yang cantik
dan bersih ini cacat karena pisau tajam ini?” ancamnya.
“Hei! Jangan berani menyentuh dia atau lo akan mati!”
seru kak Alvin yang sudah mengalahkan salah satu diantara mereka.
Kak Alvin mendekat kearahku.
“Sekali lo maju, cewek lo ini akan mati!” serunya yang
mengarahkan pisaunya kearahku.
Ya Allah, tolong aku. Hanya kepada-Mu aku meminta dan
hanya kepada-Mu aku memohon ya Allah. Lindungi kami dari semua ini ya Allah.
Aku hanya bisa memejamkan mataku.
“Alviiiin!!” teriak Rey.
Aku membuka mataku dan melihat kak Alvin sudah terjatuh
dan bersimpuh darah dengan sebilah pisau tajam yang menancap di perutnya.
Seorang preman itu lari dan dua lainnya langsung melepaskan Rey. Mereka semua
lari.
“Kak Alviiiin!” teriakku yang langsung menghampiri kak
Alvin, sedangkan Rey menelepon papa.
“Kak Alvin bangun kak! Tolong bangun kak!” ucapku yang
menangis dan memeluk kak Alvin yang terbaring di tanah.
Kak Alvin tersenyum, “Ka-kak se-nang, ka-li i-ni ka-kak
bi-sa me-lin-du-ngi ka-mu. Ka-kak sa-ngat me-nya-ya-ngi ka-mu dek...”
“Kak Alvin! Jangan tinggalkan aku kak! Kakak aku butuh
kakak!” seruku.
“Tyara! Alvin pasti selamat! Sekarang kita ke lapangan
terdekat, om Dharma akan kesini dengan Heli!” seru Rey yang mengangkat Alvin
dan memasukkannya ke mobil.
Aku hanya bisa menangis. Ya Allah tolong selamatkan kak
Alvin, aku tak ingin terjadi apapun padanya. Aku hanya ingin hidup bahagia
bersama keluargaku yang utuh. Aku tau aku terlalu egois, aku menyadari itu ya
Allah. Maafkan keegoisanku ya Rabb...
Sekitar 15 menit kemudian papa tiba. Aku dan kak Alvin
menggunakan Heli, sedangkan Rey menggunakan mobil. Membutuhkan waktu singkat
untuk ke rumah sakit jika menggunakan Heli. Setibanya di rumah sakit, kak Alvin
langsung di tangani. Aku dibantu Tasya untuk berjalan ke ruang UGD.
“Sya, gua nggak kuat, gua takut Sya!” ucapku.
“Lo nggak boleh lemah, Ra! Lo harus kuat, kalau lo kuat
insyaallah kak Alvin juga kuat.” Tasya memelukku.
Salah seorang dokter keluar dari ruang UGD. Aku dan Tasya
masuk ke ruang UGD. Rey menghampiri kami dengan terburu-buru.
“Bagaimana?” tanya Rey seraya mencoba mengatur napasnya.
“Entahlah...” jawab Tasya.
Kami bertiga masuk ke ruang UGD. Aku melihat papa dan
mama menangis. Ada apa dengan kak Alvin? Ya Allah sembuhkan dia. Apakah aku
terlambat menyadari bahwa aku sangat menyayangi dan sangat membutuhkannya? Aku
langsung memeluk mama.
“Ada apa, ma?” tanyaku yang masih terisak.
Mama menyuruhku mendekat dengan kak Alvin.
“Jangan menangis lagi...” ucap kak Alvin yang menghapus
air mataku dengan tangannya yang masih lemah.
“Kakak jangan banyak bicara dulu.” balasku yang semakin
terisak dan menggenggam erat tangannya.
“Temani kakak ke danau belakang...” pinta kak Alvin.
“Ta-tapi kak...” bantahku.
“Ma, pa, kalian mau kan menemani Alvin?” tanya kak Alvin.
Papa dan mama mengangguk. Ya Allah, apakah ini pertanda
dari-Mu? Apakah Engkau ingin mengambil kakakku? Apakah ini hukuman untukku
karena selama ini aku menyia-nyiakan kak Alvin? Setelah dipindahkan ke kursi
roda, aku, kak Alvin, papa, dan mama keluar diikuti dengan Rey dan Tasya. Aku menggenggam
erat tangan kak Alvin. Kami tiba di tepi danau buatan yang memang sengaja dibuat
di lingkungan rumah sakit milik keluargaku.
“Kak, maafkan aku, karena aku kakak jadi seperti ini!
Maaf kak, maaf...” isakku yang langsung memeluk kak Alvin.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, dek. Hapus air matamu,
kakak nggak mau melihat kamu menangis! Life
must go on!” balas kak Alvin membelai rambutku.
“Oh ya, kalung ini untuk kamu, kakak memesannya khusus
untuk kamu sejak lama. Simpan kalung itu baik-baik ya!” ucap kak Alvin yang
memberikan kalung itu.
“Rey, tolong jaga dan lindungi Tyara untuk gua!” pinta
kak Alvin yang melihat Rey.
“Ma, pa, you’re the
best for me. Tanpa kalian Alvin bukan apa-apa. You’re always in my heart. Love you...” ucap kak Alvin yang melihat
lemah kearah mama dan papa. Lalu melihat kearahku.
“You’re my
everything, my beloved sister!” ucap kak Alvin.
“Semoga suatu saat kita dapat berkumpul lagi menjadi
keluarga yang bahagia...” harapnya.
Aku tak kuasa menahan tangis. Aku langsung memeluk kak
Alvin, begitupun mama dan papa.
“Amin ya Rabb...” balas mama yang menangis dan mencium
kening kak Alvin.
Aku merasakan tubuh kak Alvin yang lemah dan tak
bergerak. Aku melepaskan pelukanku, mama dan papa pun serupa. Papa memeriksa
nadi kak Alvin.
“Pa, beritahu aku kalau kak Alvin hanya pingsan. Iyakan
pa, ma?” tanyaku yang terisak dan menggetarkan lengan papa.
“Pa, ma! Jawab! Tolong jawab!” isakku.
Aku terjatuh. Mama dan papa mulai menangis. Papa memeluk
mama. Rey dan Tasya menenangkanku.
“Rey! Sya! Bilang ke gua kalau ini semua hanya mimpi kan?
Bilang Rey, Sya!” ucapanku meninggi bercampur dengan tangisan.
Rey mendekapku. Tasya menepuk kecil pundakku. Beberapa
dokter dan perawat berkumpul di danau itu dan membawa kak Alvin. Mama dan papa
mengikutinya. Tasya membantu mama yang sedang menangis. Aku tak mampu berdiri.
Kakiku terasa lumpuh. Hatiku seperti tersayat pisau tajam, sangat tajam. Yang
kini dapat kulakukan hanya menangis. Rey menatapku dan menghapus air mataku.
“Ini semua salah gua kan Rey? Kalau kak Alvin nggak
menolong gua, dia pasti masih hidup! Kalau gua mengikuti perintah kak Alvin
untuk pergi, kak Alvin nggak perlu menolong gua dan dia masih ada disini, Rey!
Kenapa bukan gua yang seperti itu kenapa harus kak Alvin! Kak Alvin selalu
melindungi gua, tapi gua nggak pernah berbuat apapun untuknya bahkan gua pernah
membencinya, Rey!” jelasku yang masih menangis.
“Alvin pasti bahagia, Bee, usahanya untuk melindungi lo
nggak sia-sia. Ini yang dia inginkan, melindungi lo walaupun itu berarti harus
mengorbankan dirinya. He loves you more
than anything, Bee! “ ucap Rey.
“Sebaiknya sekarang kita temui om Dharma dan tante Rena
ya...” saran Rey. Aku berjalan dibantu Rey.
Ya Allah, mengapa Engkau menghukumku dengan cara seperti
ini? Disaat aku baru menyadari semuanya. Disaat aku menyadari bahwa aku sangat
menyayanginya dan membutuhkannya. Disaat kami ingin bahagia. Disaat keluargaku
berkumpul kembali. Ya Allah, apa rencana-Mu sesungguhnya? Mengapa Engkau tak mengizinkanku
untuk bahagia? Ya Allah, sampaikanlah maafku kepadanya. Kakak andai saja kakak
mendengarku, maafkan aku karena semua keegoisanku, maafkan aku karena tidak
menyadari kasih sayangmu yang begitu besar untukku, maafkan aku karena telah
menyia-nyiakanmu, maafkan aku karena tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu.
Andai saat ini kakak ada dihadapanku I
will say, I proud of you, I proud because I have the best brother who always
protect me more than anything! I love you my beloved brother! I love you more
than anything...
Ketika melihat mama, aku langsung memeluknya. Mama masih
terisak. Sedangkan papa sedang mengurus jenazah kak Alvin.
“Ma, semua ini salah Tyara kan, karena Tyara kak Alvin
jadi seperti ini, iyakan, ma?” tanyaku yang masih terisak.
Mama menghapus air mataku, “Tidak sayang, ini sudah
takdir Allah. Mungkin Allah mempunyai tujuan lain untuk kakakmu dan keluarga
kita. Alvin pasti bahagia disana karena dia bisa melindungi adik yang sangat
dia sayangi.” ucap mama yang mencoba menenangkanku.
Jenazah kak Alvin dibawa ke rumah duka menggunakan mobil
ambulans. Aku, mama, dan papa juga menggunakan mobil ambulans yang sama. Di
rumah duka semua telah disiapkan oleh sanak keluargaku. Semua orang yang kami
kenal telah berkumpul mulai dari keluarga, teman-teman orang tuaku, aku, dan
kak Alvin, guru-guru SD dan SMP kak Alvin, rekan-rekan kerja orang tuaku, dan
masih banyak yang lainnya. Aku, mama, dan papa duduk di dekat jenazah kak
Alvin. Aku terus menggenggam kalung pemberian kak Alvin yang indah dan sangat
berarti untukku. Ketika jenazah kak Alvin dimandikan, aku dan Tasya ke kamar
kak Alvin. Aku melihat foto-fotonya dan foto-foto kami sewaktu kecil. Aku
kembali menangis. Aku memeriksa laci mejanya dan melihat beberapa surat
pentingnya. Aku menemukan selembar surat yang berbeda. Surat itu ditulis bukan
diketik, sedangkan surat lainnya diketik. Aku membacanya...
Ya Allah...
Andai waktu dapat
terulang kembali
Aku tak ingin ada
air mata yang membasihi wajahnya
Aku berharap tak
ada kebencian dalam hidupnya
Ya Allah...
Andai waktu dapat
terulang kembali
Biarkan aku melihat
senyum indahnya
Izinkan aku untuk
menghapus air matanya
Ya Allah...
Izinkan aku untuk
menjaga dan melindunginya
Izinkan aku
memberikan kebahagiaan dalam hidupnya
Izinkan aku
menemani setiap langkahnya
Ya Allah...
Berikanlah aku
kekuatan untuk menjadi dewasa
Agar aku dapat
memberikan arti hidupku kepada siapapun yang mengenalku
Especially for you,
Tyara...
Aku menangis membaca tulisan-tulisan kak Alvin. Aku
merasa seperti orang yang sangat egois. Aku merasa seperti orang yang tak
berguna. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Ya Allah, apa yang dapat
aku lakukan setelah ini tanpa kak Alvin di dekatku...
Aku keluar dari kamar. Setelah di sholatkan, jenazah kak
Alvin dibawa ke pemakaman keluargaku menggunakan ambulans. Dalam waktu singkat
aku seperti kehilangan separuh hidupku. Aku menangis melihat tanah yang baru
saja ditimbun. Aku menangis saat menabur bunga di atas timbunan tanah itu. Aku
menangis melihat nisan kak Alvin. Mama dan papa memelukku.
Ya Allah, aku mohon berikan kakakku tempat yang layak
disisimu. Sayangi dia seperti dia menyayangiku. Lindungi dia seperti dia
melindungiku. Hapus air matanya seperti dia menghapus air mataku.
“Still. I can’t
stop my tears falling down when I recall our memories. When I remember what
you’ve done for me. Thanks for your love, my beloved brother...”
END