Namaku Bulan Juventia.
Hari ini, Senin tepatnya, aku melaksanakan MOS pertamaku di SMA Darma Bangsa
(SDB) Jakarta. Yang namanya MOS adalah hal yang paling ditakuti siswa baru.
Diperintah ini-itu oleh senior adalah hal biasa. Pertama, kami dibagi menjadi
beberapa kelompok. Satu kelompok terdapat 5 senior. Tentunya senior kelas 12. Ya!
MOS dimulai! Aku dan teman-teman satu kelompokku mulai dipertintah. Seperti
membersihkan kelas yang akan kami gunakan beberapa hari, memperkenalkan diri
dengan nyanyi atau joget, membersihkan toilet, hingga membelikan makan siang
untuk senior. Untuk yang terakhir ini sampai menghabiskan uang jajanku dan
hanya tersisa untuk ongkos pulang.
Salah satu senior cowok
memerintah teman sekelompokku yang bernama Andri untuk membelikan makan siang
dikantin dengan uang sokongan kami. Tak lama Andri keluar, dia kembali masuk
dengan senior cowok. Menurutku dia ganteng. Ganteng banget.
“Duduk lo!” perintah cowok
itu pada Andri.
“Apa maksud lo semua nyuruh dia beli makan siang?” tanya
cowok itu yang menunjuk para senior.
Para senior yang ada di kelasku hanya diam. Sedangkan
kami, para junior diam-diam memperhatikan.
“Ng...” senior yang bernama Jimmy mencoba menjawab.
“Kalo lo semua pada nggak mampu ngomong! Nanti gua yang
bayar! Dari awal gua udah bilang terserah kalian mau nyuruh dan ngehukum apapun,
kecuali memeras! Ngerti?!” seru cowok itu.
Sepertinya dia berkuasa sehingga senior lain takut. Tapi tentunya
dia bukan ketua OSIS, karena tadi kami sudah melihat rupa sang ketua OSIS. Dia
langsung meninggalkan kelas. Terlihat jelas para senior yang dapat bernapas
lega. Kami yang penasaran melihat para senior dengan wajah ingin tahu. Para
senior kami bernama Jimmy, Eki, Ratu, dan Putri sepertinya bersiap untuk
menjelaskan. Eki menutup pintu.
“Oke, kami akan jelasin...” ucap Jimmy, “Namanya Juno,
dia pentolan sekolah. Dia juga siswa yang paling ditakuti junior dan paling
disegani anak-anak seangkatannya. Dia selalu buat onar di sekolah, dia nggak
segan berantem depan guru, dan bagi junior yang menurut dia membangkang
siap-siap aja nggak aman di sekolah...” jelas Jimmy.
Aku dan teman-teman baruku hanya mendengar. Aku melihat
ke anak-anak cowok kelompokku dan melihat mereka dengan wajah pucatnya.
Sepertinya mereka sudah mendengar berita tentang Juno itu.
“Juno juga orangnya dingin, tapi dia nggak pilih temen,
yang mau jadi temennya ya silahkan aja, tapi temen-temennya segan sama dia jadi
takut duluan. Mungkin untuk beberapa orang yang temenan sama dia, dia itu
seperti bank karena dia royal banget! Setiap ngeluarin uang warnanya cuma biru
sama merah muda. Pokoknya tajir banget deh! Untuk masalah cewek, kata Rezi dan
Fahri, temen-temen deketnya, dia itu belum punya pacar, kalo cewek yang coba
deketin sih banyak banget, secara kalian tau sendiri dia ganteng banget, tajir
tapi nggak pelit, pinter juga walaupun sering buat onar...” jelas Putri.
“Ada juga pentolan cewek sekolah kita, namanya Renata.
Dia sama seperti Juno, tapi nggak lebih parah dari Juno. Dia terobsesi sama
Juno juga...” seru Jimmy.
“Pokoknya nanti kalian akan tau mereka orangnya gimana. Yang
jelas kalian jangan cari masalah sama senior, terutama Juno dan Renata.
Ngerti?!” tegas Ratu.
Teman semejaku bernama Vio memberanikan mengangkat tangan
untuk bertanya.
“Gimana caranya biar kami nggak kena masalah sama kak
Juno atau kak Renata?”
“Kalo untuk Renata lebih mudah, untuk cewek yang penting
gaya kalian nggak berlebihan seperti memakai aksesoris melebihi yang Rena pakai,
nggak menel, dan terutama nggak cari perhatian Juno! Untuk cowok sih yang
penting jangan membantah dia.” jawab Ratu.
“Kalau kak Juno?” tanyaku yang mengangkat tangan dan
bertanya sepelan mungkin. Takut saja yang menjadi bahan pembicaraan mendengar.
Ratu hanya menjawab dengan
gerakan tangannya yang seperti berkata ‘gua nggak tau’.
“Yaudah, kita keluar sekarang, kumpul di lapangan mau ada
intruksi!” jelas Eki yang membimbing anak asuhnya keluar kelas.
Kami semua jelas melihat Juno yang sedang memarahi bahkan
membentak junior-junior cowok di lapangan. Sedangkan senior-senior lain tidak
dapat berbuat apapun. Jelas diwajah mereka, mereka takut berurusan dengan Juno.
Aku, kelompokku, dan seniorku berhenti seketika.
“Rezi! Ambil tas gua!” pertintah Juno, “Fahri! Lo urus
mereka!”
“Oke boss!” seru kedua temannya yang bernama Rezi dan
Fahri.
Setelah Rezi kembali dan memberikan tasnya, Juno ke tempat
parkir lalu membawa mobil sport-nya keluar dari sekolah. Seluruh junior dan
senior cewek hanya melihat dan mungkin seperti aku yang menggumam dalam hati
andai bisa dekat dengan Juno. Menurut cewek kriteria ganteng memang beda, tapi
jelas semua kreteria itu ada di Juno. Mungkin hanya beberapa orang yang bilang
kalau Juno jelek, itupun hanya untuk mengingkari hati mereka bahwa mereka tidak
bisa mendapatkan Juno.
Setelah kepergian Juno, ketua OSIS SDB memberikan
intruksi untuk besok. Apa saja yang akan kami lakukan dan apa saja yang akan
kami bawa besok. Setelah itu semua junior pulang. Karena ini masa MOS hanya ada
senior yang tergabung dalam panitia MOS saja. Sedangkan senior lainnya masih
libur.
Aku berangkat dari rumah pukul 05.10 karena harus
menunggu bus kearah sekolahku. Aku dan mamaku pindah ke Jakarta saat kelulusan
SMP-ku. Sedangkan papa dan kakakku, Bintang, meninggal karena kecelakaan
pesawat ketika mereka pergi ke Singapura 10 tahun lalu, tepatnya sejak usiaku 5
tahun. Sejak itu mama memutuskan untuk tidak menikah lagi. Pagi ini, aku sudah
janjian dengan Vio di gerbang sekolah. Vio ternyata sudah menungguku di
gerbang. Tanpa membuang waktu kami langsung meletakkan tas dan barang-barang
bawaan kami ke kelas. Setelah bel, seluruh junior beserta senior ke lapangan
dan berkumpul sesuai kelompok.
Kami ditugaskan untuk membuat yel-yel dan topi atau
semacamnya sebagai tanda kelompok karena kami besok akan outbond. Tentu saja
masih di Jakarta. Setelah membuat yel-yel dan topi kerucut berwarna biru, para
senior memperkenalkan area sekolah beserta eskul-nya. Aku dan Vio izin untuk ke
toilet. Setelah itu kami kembali mengikuti kelompok kami. Tapi diperjalanan
singkat itu kami bertemu dengan Juno, sang pentolan sekolah. Dia memanggil kami.
“Heh, lo yang pakai pita putih!” panggilnya. Yang
dimaksud jelas aku, karena Vio tidak memakai pita apapun. Aku hanya menggenggam
tangan Vio dan dengan takut kami menghampiri Juno.
“Gua kan cuma panggil elo!” serunya.
“Ma, maaf, ka!” ucap Vio pelan dan mundur beberapa
langkah lalu menjauh.
“Elo beliin gua soda di kantin!” perintahnya yang
memberikan uang berwarna biru.
Tanpa membantah aku langsung pergi ke kantin dan
membelikannya sekaleng soda. Lalu kembali ke tempatnya secepat mungkin.
“Gua kan belum nyuruh beli berapa! Sekarang lo balik ke
kantin beliin 5 kaleng lagi!” perintahnya.
Memangnya dia nggak tau, jarak dari tempat kami berada ke
kantin cukup jauh! Gerutuku dalam hati. Lalu aku kembali dan memberikan 5
kaleng soda.
“Oh ya gua lupa! Beliin kacang 3 bungkus!” pertintahnya
lagi.
Aku kembali ke kantin dan memberikan kacang itu ke Juno.
“Bagus! Kembali ke kelompok lo!” perintahnya.
Aku berjalan lunglai karena kelelahan. Tiba-tiba Juno
memanggil lagi. Aku merutuknya dalam hati.
“Heh tunggu!” serunya.
“Ada apa, kak?” tanyaku yang kembali ke tempatnya.
“Dari sekolah mana?” tanyanya sembari meminum sodanya.
“SMP Pelita Bangsa Lampung, kak.”
“Siapa nama lo?”
“Bulan, kak.”
“Kepanjangannya!”
“Bu, Bulan Juventia, kak...” jawabku takut.
“Yaudah sana!” serunya.
Aku berlari ke kelasku yang ternyata sudah dipenuhi
anggota kelompok serta seniorku. Aku langsung duduk di sebelah Vio. Ratu dan
Putri menghampiriku, sedangkan yang lain memperhatikan kami.
“Lo diapain sama Juno, dek?” tanya kak Ratu penasaran.
“Disuruh bolak-balik kantin kak...” ucapku.
“Oh...” balas Ratu.
Setelah itu, para senior kelompokku mengadakan games.
Lalu pulang. Ketika aku tiba di rumah kontrakan sederhana aku dan mama, mama
menyuruhku untuk makan siang. Mama bekerja sebagai disainer di sebuah butik di
dekat rumahku. Aku dan mama makan siang bersama.
“Ma, kenapa mama menyekolahkanku di sekolah mahal itu?”
tanyaku ragu.
“Sekolah kamu itu dulu sekolah mama, makanya mama mau
kamu sekolah disana. Untuk biaya jangan kamu pikirkan, yang penting kamu
belajar yang baik disana.”
“Iya deh, ma...” jawabku yang melanjutkan makan.
Hari ini aku bangun lebih pagi karena semua siswa kelas
10 harus datang pukul 05.30. Seluruh siswa kelas 10 dan para senior panitia MOS
akan ke tempat outbond yang dapat ditempuh dalam waktu 1½ jam kalau tidak
macat. Bus-bus untuk siswa kelas 10 telah disiapkan. Sedangkan untuk para
senior membawa kendaraan atau menumpang kendaraan temannya. Siswa yang telah
hadir berkumpul di luar bus yang telah ditentukan. Sekolah menyiapkan 4 bus.
setelah mengabsen, satu persatu siswa masuk ke dalam mobil. Hingga terdengar
suara yang sudah tak asing ditelinga kami yaitu suara Juno.
“Elo ikut gua!” seru Juno yang menunjukku.
Dia berjalan santai dengan memasukkan kedua tangannya ke
dalam saku celana seragamnya. Aku melihat Vio, Vio pun tak bisa berbuat apapun.
Lalu aku melihat kearah Jimmy dan Ratu yang siapa tahu bisa membantuku.
“Ikut aja, dek...” ucap Jimmy pelan dan ragu.
Aku mengikuti Juno memasuki mobil sport merah-nya itu.
Sekitar 20 menit perjalanan kami saling diam. Akupun tidak berani menatap Juno.
Bus-bus ataupun mobil dan motor para seniorku tertinggal jauh. Akhirnya Juno terlebih
dahulu membuka percakapan kami.
“Siapa nama lo?” tanya Juno yang masih menatap jalan
raya.
“Bulan Juventia, kak...”
“Yakin cuma itu?”
“Bulan Juventia Artadinata, kak...”
“Lo lahir dimana?”
“Di Jakarta, kak...”
“Kok tinggal di Lampung?”
“Sekitar 10 tahun yang lalu, papa dan kakak saya
kecelakaan pesawat dan mereka meninggal tanpa ditemukan jasadnya kak...”
jawabku yang hampir menangis.
Dengan ragu Juno bertanya, “Siapa nama mama lo?”
“Me, memangnya kenapa, kak?”
“Jawab!” suara Juno meninggi.
“Revalina, kak...” jawabanku terdengar sangat pelan dan
ragu.
Juno menepikan mobilnya. Untungnya jalanan yang kami
lalui sedang sepi. Juno seperti tersambar petir, wajahnya merah dan tangan
kanannya menutupi matanya. Juno mengambil HP dari saku celananya.
“Hallo, Ri, gua nanti dateng telat, bilang sama Jimmy
anak asuhnya gua pinjem...”
Juno meletakkan HP-nya di dasbor. Lalu menatapku dengan
tatapan tajam dan serius.
“Lo tau siapa gua?”
Aku hanya menggeleng. Juno menarik napas panjang.
“Gua... Bintang Juventio Artadinata!” serunya.
Aku yang tidak percaya menatapnya.
“Bohong! Ka, kakak bohong!” sergahku tak percaya.
“Coba kamu pikir, darimana saya tau nama kakak kamu?!”
Cara bicara kamipun berubah 180ยบ.
“Tapi kata mama...” ucapku terputus.
“Kakak nggak tau kenapa mama bilang gitu, tapi papa
bilang kamu dan mama udah meninggal karena kebakaran rumah kita dulu. Banyak
yang mau kakak tanya sama kamu, sebaiknya kita ke resto itu dulu.” ucap Juno
yang langsung ke resto yang dekat dengan kami sekarang.
Aku dan Juno masuk ke dalam. Kami memilih tempat dekat
jendela dan hanya memesan minuman. Aku dan Juno tidak berselera makan untuk
saat ini.
“Gimana keadaan mama sekarang?” tanya Juno yang menatap
keluar jendela. Dari wajahnya aku tahu Juno sedang tidak fokus.
“Mama baik-baik aja. Sekarang dia bekerja disalah satu
butik untuk membiayai hidup kami di Jakarta. Mama juga belum menikah lagi
setelah kejadian itu...” ucapku yang tanpa sadar menangis, “Kalau papa?”
“Papa baik-baik aja. Dia sering keluar kota bahkan keluar
negeri. Kami memang pergi ke Singapura dan tinggal disana, sampai akhirnya papa
memutuskan untuk kembali ke Jakarta 3 tahun lalu dan kakak melanjutkan sekolah
disini. Sampai sekarang papa juga belum menikah...”
“Aku nggak menyangka bisa ketemu sama kakak lagi, setelah
10 tahun. Kenapa mama dan papa sekejam itu, kak?” tanyaku yang menangis.
“Semua jawaban ada pada mereka. Yang jelas untuk saat ini
kita jangan beritahu siapapun. Kamu jangan beritahu mama tentang pertemuan kita
ini dan jangan mengungkit tentang kakak dan papa pada mama. Untuk di sekolah
kita pura-pura nggak saling kenal sampai kakak bisa menemukan cara agar mama
dan papa bisa menjelaskan semuanya pada kita! Di sekolah kamu tetap memanggil
kakak, Juno, untuk sementara.”
“Aku masih belum percaya semua ini!” ucapku yang menahan
tangis.
Juno menghapus air mataku dan mencoba menenangkanku. Tapi
tetap saja dihapus beberapa kalipun aku tak bisa berhenti menangis.
“Sekarang kamu pulang aja ya, nanti biar kakak yang
bilang ke Jimmy.”
“Kita tetep ke tempat outbond aja ya kak, aku belum siap
ketemu mama...”
“Yaudah, tapi kamu jangan marah atau diemin mama ya.
Bersikap biasa aja! Kalo ada sesuatu telepon kakak.”
Aku dan Juno bergegas ke tempat outbond itu. Karena
jalanan sepi Juno mempercepat laju mobilnya. Akupun tetap menangis. Tidak
sampai sejam kami tiba disana. Aku langsung menghampiri kelompokku dan memeluk
Vio, teman dekatku sejak 3 hari yang lalu. Juno menyusul di belakangku. Rezi
dan Fahri menghampiri kami. Tidak ada yang berani bertanya pada Juno kecuali
kedua teman dekatnya itu.
“Wah, Jun, lo apain tuh anak orang sampai nangis gitu?”
tanya Rezi yang memukul kecil pundak Juno.
Kali ini semua mata tertuju pada kami.
“Nggak tau tuh, diajakin sarapan aja sampai nangis gitu!”
jawab Juno yang berbohong.
“Woy kosis!” panggil Juno yang mengangkat tangannya
mengarah ke ketua OSIS yang berdiri di tengah-tengah parah junior, “Gua cabut
duluan! Tenang aja preman-preman disini udah gua usir semua!”
Aku yang tetap menangis diam-diam memperhatikan sekitar
dan tidak ada sama sekali preman ataupun tempat-tempat yang menyatakan bekas
berkumpulnya preman.
“Putri! Suruh dia istirahat!” perintah Juno yang langsung
meninggalkan tempat outbond.
Putri dan Vio mengantarkan aku ke tempat dimana aku bisa
beristirahat. Putri memberikan teh hangat.
“Kamu yakin tadi cuma diajak sarapan sama dia?” tanya
Putri.
Aku hanya menggangguk pelan.
“Sebenernya Juno itu orangnya asik, dek, lo juga
seharusnya bersyukur, lo junior pertama yang bisa semobil sama dia dan bisa
makan berdua doang sama dia!” jelas Putri.
“Tapi katanya kami harus hati-hati sama kak Juno?” tanya
Vio.
“Iya sih, yaudah jangan dipikirin, yang penting Bulan
nggak kenapa-napa. Yang gua takutin sekarang si Renata, dia itu terobsesi jadi
pacarnya Juno, apapun dia lakuin demi obsesinya itu! Eh sekarang lo istirahat
aja dek, gua sama Vio mau lanjut outbond-nya!” jelas Putri.
Putri dan Vio beranjak dari kamar tempatku beristirahat
ini. Sepanjang hari aku tak bisa lepas dari rahasia besar ini. Rahasia yang
membuatku mengingat ketika mama selalu menangis dengan memeluk foto papa dan
kak Bintang. Rahasia yang begitu cepat terungkap. Aku menahan tangis sebisaku.
Saat outbond selesai kami semua kembali ke bus masing-masing dan kembali ke
sekolah. Wajah-wajah penasaran dari teman-teman dan senior-seniorku hilang
seketika. Di sekolah aku langsung pulang karena waktu memang sudah menjelang
magrib. Bersikap seperti Bulan yang biasanya di depan mama.
Tidak seperti biasanya, malam ini aku mencoba tidur
sebelum waktu tidurku hanya untuk menghindari pikiran tentang rahasia besar
ini. Tapi tetap saja pikiran-pikiran itu masuk seberapapun kuatnya aku menolak.
Setelah berjam-jam aku mencoba memejamkan mata dan menangis, aku barulah bisa
tidur pukul 2 malam.
Paginya aku janjian dengan Vio di gerbang. Kami akan
melihat mading bersama-sama karena hari ini adalah penentuan kelas yang
sebenarnya. Gedung di SDB terbagi menjadi yaitu gedung kelas 10, kelas 11,
kelas 12, dan ruang guru yang bersebelahan dengan aula. Masing-masing gedung
kelas 10, 11, dan 12 terdapat toilet, lab. Kimia, lab. Biologi, ruang kesenian,
hingga kantin. Serta 3 lapangan olahraga yaitu futsal, basket, dan badminton.
Dan terakhir tempat parkir serta taman.
Berita baik untuk hari ini adalah aku sekelas dengan Vio
di kelas X3. Kami langsung menuju kelas. Sebelum bel masuk seluruh siswa kelas
X3 saling berkenalan. Aku semeja dengan Vio. Vio berbisik “Lo mah nggak perlu
kenalan lagi, mereka udah kenal elo, Lan!”
“Kok gitu, Vi? Gua aja nggak kenal mereka...” balasku
yang tak kalah pelan.
“Waktu lo lagi istirahat kemarin, semuanya pada ngomongin
lo termasuk para senior!”
Aku dan Vio kembali berkenalan dengan mereka semua. Setelah
bel kami mulai belajar. Ketika istirahat pertama Vio mengajakku untuk
berkeliling gedung kelas 10 lalu ke kantin. Di kantin kami berkumpul dengan
teman-teman cewek sekelasku yang sedang makan dan mengobrol. Tiba-tiba teman
sekelasku yang bernama Ayu datang.
“Hey guys! Ada hot news nih!” kata Ayu.
Kami semua yang penasaran bertanya-tanya.
“Katanya tadi pagi kak Juno babak belur!” jawab Ayu.
“Serius lo? Salah informasi kali lo!” tanya Vio.
“Memang kenapa, Yu?” tanyaku.
“Iya, lo ini gosip aja!” seru teman sekelasku yang lain.
“Nggak kok! Informan terpercaya walaupun masih kelas 11
sih. Berita ini udah kesebar dikalangan anak kelas 11 dan 12. Kemarin waktu dia
pulang ternyata dia ke sekolah main basket sendiri, tiba-tiba ada 5 orang
mukulin dia sampai bonyok nggak tau deh kenapa, tapi bukan kak Juno namanya
kalo dia nggak bisa bikin orang yang mukulin dia lebih parah dari dia!” jelas
Ayu.
“Bohong ya lo!” sergah teman-temanku.
“Ih kalo nggak percaya tanya pak Pendi deh! Kan kalo hari
libur pak Pendi sering keliling sekolah, kebetulan dia denger suara ribut-ribut
gitu. Kata pak Pendi kemarin dia pengen ngabantuin tapi dilarang sama kak Juno.
Gila gentle banget ya kak Juno!” balas Ayu semangat.
“Terus sekarang kak Juno dimana?” tanyaku.
“Katanya sih kak Juno di ruang kepsek, kak Juno nggak
mungkin di skorsing, kata anak kelas 12 setiap ada kejadian di sekolah berantem
atau apalah yang berhubungan sama kak Juno, dia pasti lolos nggak seperti
temen-temennya yang kena skorsing atau dapet SP dari guru. Paling dia disuruh
nunggu di ruang kepsek.” jawab Ayu.
Bel masuk berbunyi. Setelah ini adalah pelajaran Fisika.
Guru Fisika kami adalah walikelas X3. Ketika kami sedang belajar, Juno mengetuk
pintu dan tetap berdiri disana dengan melipat tangan didada.
“Hay miss Hani! Tambah cantik aja!” seru Juno santai.
“Juno?! Mau apa kamu disini? Ini jam pelajaran!” seru bu
Hani.
“Miss ini kalo lagi marah tambah cantik deh! Kok nggak
jadi walikelas saya lagi sih?”
Aku dan teman-temanku hanya melihat, bahkan beberapa
temanku diam dengan mulut terbuka. Wajar saja, kami baru kali ini melihat siswa
berani dengan guru seperti itu. Tepatnya dengan gaya bicara seperti itu.
“Setahun jadi walikelas kamu rasanya rambut saya hampir
botak!” gerutu bu Hani yang sepertinya whatever dengan siswa-siswa yang sedang
melihatnya.
“Nggak botak kok miss, itu buktinya rambut miss masih
banyak!” balas Juno yang membuat kami harus menahan tawa.
“Ini jam pelajaran! Mengapa kamu berkeliaran disini?!”
tanya bu Hani yang sepertinya sudah bisa menahan emosi.
“Nggak tau tuh kepsek, sepertinya sih kangen sama saya.
Buktinya saya disuruh nemenin di ruangannya seharian lagi, miss!”
“Lalu mengapa kamu kesini?”
“Kata kepsek, ada yang harus dibicarain sama semua guru
Fisika. Udah ditunggu tuh miss!”
Setelah memberi tugas kepada kami, bu Hani keluar. Juno masuk
ke kelas.
“Mengapa kamu masuk?!” seru bu Hani.
“Kan saya mau jagain kelas miss, nanti kalo mereka ribut
gimana? Kalo tiba-tiba ada pemeriksaan kelas gimana?”
“Mereka nggak mungkin ribut! Yang ada kamu yang buat
ribut!”
“Miss ini nggak bisa lihat saya seneng ya! Saya kan mau
kenalan sama adik-adik kelas ini miss!” balas Juno dengan wajah kecewa tapi
tetap mengikuti langkah bu Hani.
Setelah pergi cukup jauh, teman-teman cewekku berkumpul
di tempat Ayu, tepatnya di belakang tempatku dan Vio.
“Gila! Kak Juno berani banget tadi!” seru temanku.
“Asli! Parah ya berani sama bu Hani! Walaupun masih muda,
bu Hani kan tetep guru!” tambah Vio.
“Kalo kak Juno nggak gitu, nggak mungkin dia jadi
pentolan sekolah!” seru Ayu.
HP-ku bergetar. Aku membuka SMS dari Juno.
Juno : Rencana
sukses!
Bulan : Rencana
apa kak?
Juno : Besok
papa dipanggil ke sekolah.
Bulan : Serius?
Jam berapa?
Juno : Iya! Jam
8. Sekarang tugas kamu ya!
Bulan : Iya.
Juno : End chat!
Aku segera menekan end chat dan memasukan HP-ku ke saku
kemeja sekolahku. Aku melanjutkan sekolah dengan tenang dan tanpa mendengar
berita Juno membuat onar lagi. Seharian Juno berada di ruang kepala sekolah.
Ketika pulang pun aku tidak melihatnya. Besok untuk pertama kalinya aku melihat
papa setelah 10 tahun aku tidak melihatnya. Seperti apa papa sekarang? Apa papa
masih mengenaliku? Apa yang akan papa lakukan setelah bertemu aku dan mama besok?
Apa akan ada pertengkaran lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku ingin
menangis.
Setibanya di rumah aku langsung ke kamar. Untuk makan
siang pun aku tak berselera. Mama belum pulang kerja. Aku terus menangis
memikirkan esok. Aku memeluk foto keluargaku. Saat kami masih bersama. Saat
kami masih bahagia. Ketika aku berusia 4 tahun dan kak Bintang berusia 6 tahun.
Apakah kak Bintang sekarang merasakan apa yang sedang aku rasakan? Senang, takut,
khawatir, dan gelisah menunggu esok. Atau sekarang kak Bintang sedang
bersenang-senang dengan teman-temannya tanpa memikirkan esok. Semua pertanyaan
itu terus menghantui pikiranku. Ketika makan malam, aku bersikap seperti biasa.
Setelah makan aku kembali ke kamar. Juno tidak menghubungiku. Aku mulai takut
rencana kami tidak berjalan baik besok. Akhirnya aku kembali tertidur pukul 2
malam.
Paginya hampir saja aku telat ke sekolah. Ketika aku tiba
di sekolah bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama Fisika. Sedikitpun penjelasan
yang diberikan bu Hani tidak ada yang masuk ke otakku. Ketika jam dinding
menunjukkan pukul 08.00 aku meminta izin bu Hani untuk ke toilet. Aku akan
menjalankan rencanaku. Aku langsung berlari ke kantin untuk membeli 2 kaleng
soda. Aku sengaja tidak sarapan dan meminum 2 kaleng soda itu sekaligus agar
sakit perut. Sebenarnya bisa saja aku berpura-pura sakit dan meminta bu Hani
atau petugas UKS menelepon mama, tapi sayangnya aku tidak seperti Juno yang
pandai berakting.
Setelah meminum soda-soda itu aku kembali ke kelas. Reaksi
soda-soda itu cukup cepat. Tapi Juno belum tahu ideku ini. Dan sekarang perutku
mulai sakit. Aku terus memegangi perutku dan merintih kesakitan. Vio melihat.
“Lan, lo kenapa?”
“Nggak tau, Vi, sakit banget!”
“Yaudah gua temenin ke UKS aja ya! Nanti gua yang bilang
sama bu Hani!”
“Nggak kuat, Vi, tolong telepon mama gua aja. Tolong,
Vi!”
“Bu! Bulan sakit, bu!” seru Vio panik.
Bu Hani segera menghampiriku sedangkan teman-temanku
melihat kearahku.
“Yaudah sekarang kamu ke UKS aja ya!” seru bu Hani panik.
“Saya nggak kuat lagi, bu, tolong telepon mama saya aja,
bu...” rintihku yang terus memegangi perutku.
Bu Hani yang masih panik langsung mengambil HP-ku yang
sedari tadi aku letakkan di meja. Setelah menelepon mamaku, bu Hani meletakkan
HP-ku di tempat semula. Aku hanya berharap Juno tahu. Kalau sudah seperti ini
aku sedikit menyesal mengapa aku tidak berakting saja, aku tak tahu kalau akan
sesakit ini jadinya. HP-ku bergetar dan dilayar terdapat nama ‘my brother’ aku
langsung membuka SMS itu karena takut dilihat bu Hani dan beberapa temanku yang
ada di dekatku dan membalas agar segera ke kelasku.
“Siapa, Lan?” tanya bu Hani.
“Mama, bu... sakit banget bu...” seruku yang terus
merintih.
Tak lama kemudian Juno masuk kekelasku. Dia sendiri,
tanpa papa. Aku mulai kecewa. Dengan refleks teman-temanku menyingkir dan
membuka jalan untuk Juno.
“Lo serius?” tanya Juno panik.
Aku hanya mengangguk dan merintih kesakitan. Juno
langsung mengangkat tubuhku. Bu Hani mencoba menghentikannya.
“Juno! Apa-apaan kamu! Ibu sudah menelepon mamanya dan dia
sedang diperjalanan sekarang!” seru bu Hani.
“Sekarang bukan waktunya nunggu! Ibu nggak lihat dia udah
kesakitan!” seru Juno yang berjalan cepat.
Bu Hani dan beberapa teman sekalasku mencoba mengejar
Juno hingga keluar gedung kelas 10. Ternyata ada papa. Mama pun baru tiba. Tapi
aku mengabaikan mereka. Perutku semakin sakit. Bu Hani dan teman-temanku
berhenti.
“No time! Don’t ask! Follow me!” seru Juno.
Juno membawaku ke mobilnya. Sedangkan papa dan mama satu
mobil yaitu menggunakan mobil papa. Juno langsung membawaku ke rumah sakit
terdekat. Setelah di periksa di UGD, aku dibawa ke ruang inap.
“Bintang... benar kamu Bintang?” tanya mama yang menangis
dan meraba wajah kak Bintang.
Kak Bintang menahan tangisnya. Tapi dia gagal, dia tetap
menangis. Begitupun mama dan aku yang sedari tadi menangis. Aku melihat papa.
Papa menghampiriku. Tanpa berkata apapun papa memelukku.
“Mama...” ucap kak Bintang yang langsung memeluk mama,
“Mama...” ulangnya.
Setelah keadaan cukup tenang, mama dan papa duduk di
sofa. Sedangkan kak Bintang duduk dikursi dekat bed-ku. Banyak yang ingin aku
tanyakan pada mereka. Tapi hanya diam, diam, dan diam yang kini dapat kulakukan
hingga kak Bintang memecah keheningan.
“Kami butuh penjelasan...” ucap kak Bintang.
Satu kalimat yang aku dan kak Bintang tunggu selama ini.
Satu kalimat yang bisa menjadikan kami bersatu kembali atau dapat meruntuhkan
semua harap. Satu kalimat yang membuat kami semua mengenang masa lalu. Satu
kalimat beribu harap. Satu kalimat yang menakutkan tapi sangat dibutuhkan. Satu
kalimat yang akan berujung pada satu pilihan, haru atau luka.
Semua hening. Termasuk aku yang terus menangis tanpa
suara. Kak Bintang terus menggenggam tanganku. Tangannya yang dingin sangat
jelas menggambarkan ketakutannya. Ketakutan kami.
“Amarah. Keterpurukan. Pengkhianatan. Orang ketiga. Semua
menjadi penyesalan belaka...” ucap mama seperti menerang dan tetap menangis.
“Skenario yang telah dibuat, dipersiapkan dengan matang
demi merebut sebuah kebahagian dan harta...” tambah papa yang juga menerawang.
“Apa maksud kalian? Siapa dia? Kenapa papa bilang mama
dan Bulan udah meninggal, mama juga bilang papa dan aku udah meninggal!” tanya
kak Bintang dengan nada sedikit meninggi.
“Dia Veronica. Teman dekat kami bahkan sudah menjadi
saudara kami. Semua skenario sudah dia siapkan. Semua berita meninggalnya mama
dan Bulan papa dapatkan dari dia. Setelah 2 hari kita di Singapura, Veronica
memberitahukan berita itu dan saat itu juga papa kembali ke Jakarta dan
mengecek kebenarannya. Kata tetangga dan polisi ada seorang ibu dan seorang
anaknya yang tewas pada kebakaran itu, jasadnya nggak bisa dikenali, tapi
menurut polisi mereka adalah seorang ibu muda dan seorang putrinya yang berusia
sekitar 5 tahun. Papa shock ketika melihat kedua jasad itu sama sekali nggak
bisa dikenali. Papa nggak mau kamu sedih dengan kembali ke Indonesia dan
melihat rumah kita yang sudah rata dengan tanah serta jasad mama dan Bulan yang
mengenaskan. Ketika papa dan Bintang ke Singapura kami ingin melihat rumah baru
kita disana, sebelumnya papa dan mama memang memutuskan untuk tinggal di
Singapura. Veronica terus meyakinkan papa bahwa tinggal di Singapura adalah
jalan terbaik untuk kami saat itu...” jelas papa.
“Kalau kecelakaan pesawat, itu bukan skenario kan, ma?”
tanyaku tajam yang memperkuat genggamanku pada kak Bintang.
“Entahlah mama juga nggak tau, apa itu hanya kebetulan
yang menguntungkannya, tapi itu benar-benar penerbangan yang digunakan papa dan
kamu, Bintang... Veronica membantu mama mencaritahu, dengan sukarela dia
menemani mama ke lokasi kejadian dengan waktu tepat seperti yang papa bilang, 2
hari setelah papa dan Bintang di Singapura. Lokasi kecelakaan pesawat itu
benar-benar curam, akhirnya Veronica mempunyai ide untuk membawa mama dan Bulan
ke Lampung. Awalnya tujuan kami hanya untuk berlibur. Tapi Veronica menyarankan
kami untuk tinggal di Lampung karena rumah kita di Jakarta kebakaran selain itu
agar mama bisa cepat melupakan kejadian itu, diapun memberikan rumahnya di
Lampung dengan sukarela ke mama dan Bulan...” jelas mama yang mengingat masa
suramnya itu.
“Itu hanya kebetulan, saat itu ada 2 pesawat tujuan
Singapura dengan penerbangan yang sama. Sebenarnya ada naskah lain yang telah
disiapkan Veronica untuk menghancurkan keluarga kita. Tapi dengan kejadian
kecelakaan pesawat itu Veronica pikir akan lebih mudah dan lebih cepat
menghancurkan keluarga kita...” tambah papa.
“Kok papa tau? Dan apa tujuan Veronica itu?” tanya kak
Bintang.
“Semua karena harta. Harta bisa mengubah saudara menjadi
musuhnya. Empat tahun yang lalu, semua terbongkar. Perusahaan kita yang diambil
alih Veronica bangkrut, suaminya menikah dengan perempuan lain, dan dia juga
nggak mempunyai anak. Karena bertubi-tubi masalah menghampirinya diapun
meninggal. Orang kepercayaan Veronica yang menceritakan ini semua.” jawab papa.
“Kenapa papa nggak ngasih tau aku, pa?! Kenapa papa nggak
langsung nyari mama dan Bulan?!” tanya kak Bintang dengan nada tinggi.
“Papa belum siap memberitahu kamu, Bintang! Kamu nggak
tau apa yang papa rasakan waktu mendengar rahasia besar itu! Sejak kita kembali
ke Jakarta papa sudah mencari mama dan Bulan ke seluruh Jakarta ini! Papa juga
mencari mama hingga ke seluruh pulau Jawa ini! mencari tau ke saudara jelas
nggak mungkin! Papa dan mama adalah anak tunggal, orang tua kami sudah
meninggal, kampung halamanpun hanya di Jakarta!” jelas papa.
Kak Bintang pergi entah kemana. Aku mengajak mama pulang.
Dan papapun pergi entah kemana. Aku dan mama pulang naik taksi. Di taksi tak
ada sepatah kata pun yang keluar dari aku dan mama. Ketika di rumah pun aku dan
mama langsung masuk ke kamar masing-masing. Di kamarku aku bingung apakah aku
harus menelepon kak Bintang atau tidak. Aku khawatir dengan keadaan kak Bintang
sekarang. Untuk mengalihkan pikiranku, aku menelepon Vio dan menanyakan
tugas-tugas yang diberikan hari ini, lalu mengerjakannya.
Seharian, baik aku maupun mama tidak ada yang keluar
kamar. Makan pun kami tidak berselera. Entah apa yang mama lakukan di kamar.
Begitupun kak Bintang yang tidak memberi kabar sama sekali. Aku sudah mencoba
SMS tapi tidak ada balasan. Kekhawatiranku bertambah ketika aku mencoba
meneleponnya tapi ternyata HP-nya mati. Malam ini aku tidak tidur sama sekali.
Resiko mata panda di keesokan hari pun tak masalah.
Aku tiba di sekolah pukul 06.10. siswa-siswa pun sudah
banyak yang berdatangan. Tapi aku tidak melihat mobil sport merah milik Juno.
Aku mengabaikannya dan masuk ke kelas. Kelas X3 sudah ramai. Ketika melihat aku
masuk, mereka langsung menghampiriku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang aku
dan Juno kemarin. Hanya Vio yang menyadari bahwa aku kurang tidur karena
melihat mata pandaku.
“Dia cuma nganter gua ke rumah sakit. Nggak lebih.”
jawabku sederhana.
“Lan, temenin gua ke kantin yuk, laper nih!” ajak Vio.
“Tapi gua nggak laper, Vi!” balasku.
“Masa lo tega sama temen lo ini makan sendirian...” balas
Vio dengan wajah kecewa.
Akupun menemaninya ke kantin. Banyak siswa yang sedang
sarapan atau hanya sekedar berkumpul di kantin.
“Lo mau pesen apa?” tanya Vio.
“Nggak deh, Vi, lo aja!” jawabku.
“Oh yaudah...” balasnya yang meninggalkanku.
Aku memilih tempat duduk. Tiba-tiba kantin hening. Aku
segera mencari penyebabnya. Ternyata sang pentolan cewek sekolah. Renata. Dia
dan teman-temannya menghampiriku.
“Lo apain Juno?” sergahnya.
“Ma, maaf, kak... saya nggak mengerti maksud kakak...”
jawabku yang tidak berani menatap wajahnya.
“Lo kasih pelet apa dia sampai bisa deket sama lo gitu?”
tanyanya dengan nada tinggi.
“Sa, saya nggak ngasih apapun kak... sa, saya juga nggak
tau kenapa kak Juno gitu...”
“Sekali lagi lo berani deketin Juno! Gua pastiin lo nggak
akan aman disini!” serunya dengan mengangkat daguku dengan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanannya untuk menunjukku.
Mereka pergi dan Vio kembali. Vio terlihat khawatir. Vio
mengajakku kembali ke kelas tanpa memakan pesanannya. Beberapa teman-teman
kelasku yang melihat kejadian langsung menenangkanku. Ketika bel, kami semua
belajar. Pada istirahat pertama aku tetap di kelas, sedangkan Vio ke kantin
untuk membeli snack dan minuman untuk aku dan dia. Tak lama kemudian, Vio masuk
ke kelas dengan membawa cukup banyak snack dan minuman. Terlihat jelas diwajahnya
kepanikan. Aku langsung membantu membawa snack itu dan mendudukkan Vio di
tempatku.
“Tenang, Vi, tenang... kenapa lo? Kok panik gitu?”
tanyaku.
“Kak Juno! Kak Juno!”
“Kenapa kak Juno?” tanyaku panik.
Vio mengajakku ke lapangan basket. Disana sudah banyak
siswa, mulai dari kelas 10 hingga kelas 12. Aku dan Vio ikut melihat. Ternyata
Juno sedang main basket one on three. Ketiga anak itu diantaranya 2 orang kelas
11 dan 1 orang kelas 12. Sangat terlihat di wajah Juno amarah. Permainan
basketnya pun kasar. Sesekali dia mendorong salah satu pemain hingga jatuh. Tak
ada yang berani menghentikan kecuali kedua temannya, Fahri dan Rezi. Fahri
melindungi seorang temannya dan kedua adik kelasnya dari Juno. Sedangkan Rezi
menghentikan permainan Juno.
“Keep calm, bro! Lo mau seharian dipenjara di ruang
kepsek lagi?!” seru Rezi.
“Bubar semua!” perintah Rezi pada semua orang yang
menonton mereka.
Seluruh siswa berhamburan, termasuk ketiga korban basket
yang ditunjuk Juno itu. Rezi dan Fahri menenangkan Juno di tribun penonton. Aku
dan Vio kembali ke kelas. Di kelas hanya ada satu pembahasan yang menarik,
Juno. Ketika bel masuk, kami kembali belajar. Saat istirahat kedua aku dan
teman-teman cewek sekelasku tidak keluar. Kami membahas tentang Juno. Tepatnya
mereka. Bukan aku.
Saat bel pulang sekolah, aku, Vio, dan beberapa teman
sekelasku menuju koridor utama. Koridor yang biasa digunakan baik oleh siswa,
guru, atau orang umum yang ingin masuk ke sekolahku. Langkah kami terhenti
ketika melihat banyak siswa yang sedang memperhatikan sesuatu. Aku dan
teman-temanku bergabung. Ternyata mereka sedang melihat kearah sang pentolan
sekolah, Juno, yang sedang mengobrol dengan papa di dekat mobil super mewah
papa. Dan di dekat mereka, ada mama. Aku yang melihat hanya diam dan tetap
menjaga mulutku agar tidak terbuka melihatnya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Ada apa?’,‘Dengan siapa
Juno?’,‘Kenapa orang tuanya ke sekolah’ dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan
yang tidak bisa mereka jawab sendiri. Juno menghampiri kami semua yang melihat.
Dan tiba-tiba wajah pucat terlihat disekelilingku. Andri yang ada di sebelahku
berbisik, “Jangan-jangan dia mau ngelamar elo, Lan...”
Aku hanya menahan tawa dengan gaya bicaranya itu. Ayu
yang ada di belakang kami juga berbisik, “Asli, Ndri, katanya sih, si Bulan
cewek pertama yang dideketin kak Juno...”
Kali ini aku benar-benar susah untuk menahan tawa hingga
aku menangis. Bukan menangis kesedihan tentunya.
“Ikut gua!” seru Juno yang berdiri tepat di depanku.
“Hah?” seruku dengan mulut terbuka. Memalukan.
Juno langsung menarik tanganku dan berjalan santai.
“Mau kemana, kak?” tanyaku.
“Don’t fussy!” seru Juno, “Zi, titip mobil gua di rumah
lo, sore gua ambil!”
Juno melempar kunci mobilnya ke Rezi. Aku dan Juno masuk
ke mobil diiringi tatapan dari siswa-siswa lain. Di mobil hanya diam. Sopir itu
membawa aku, Juno, mama, dan papa ke sebuah restoran mewah. Kami masuk. Tempat
telah disediakan.
“Ada apaan sih, kak, ma, pa?” tanyaku.
“Nggak tau...” jawab kak Bintang.
“Hmm, sebenarnya kami mau minta persetujuan kalian...”
ucap mama.
“Persetujuan apa?” seruku dan kak Bintang.
“Besok papa dan mama mau menikah...” jawab papa.
“Serius, pa, ma? Sekarang aja, pa, jangan besok!” seru
kak Bintang semangat.
“Bintang!” seru papa, “Yasudah lebih baik kamu dan Bulan
sekarang ke rumah kontrakan itu, siapkan barang-barang mama dan Bulan, bawa ke
rumah!” perintah papa.
“Terus papa dan mama?” tanyaku.
“Sudah sana kamu dan kak Bintang, suruh pak Min (sopir
papa) antar kalian ambil mobil kak Bintang!” ucap papa yang tidak menjawab
pertanyaanku.
“Yaudah deh, ayo dek, jangan ganggu mama dan papa yang
mau pacaran lagi!” seru kak Bintang yang tertawa.
Kami langsung ke mobil dan menuju rumah Rezi. Aku tetap
di mobil papa dan menunjukkan pak Min alamat rumah kontrakan kami. Kak Bintang
mengikuti. Setelah sekitar 3 jam, kami kembali ke rumah papa. Kak Bintang
menunjukkan kamar yang akan aku tempati, yaitu tepat di sebelah kamar kak
Bintang. Kak Bintang pun membantuku merapikan barang-barangku di kamar itu.
Akhirnya pukul setengah delapan kami selesai. Aku dan kak Bintang bersantai di
balkon kamarku. Malam yang penuh bintang. Malam yang sangat indah...
“Jujur... kakak nggak pernah menyangka kalo keluarga kita
bisa utuh lagi...”
“Sama kak, aku sama sekali nggak menyangka...”
“Di sekolah, kamu jangan bilang kita saudara ya, kakak
mau ngedeketin kamu biar mereka tau kakak suka sama kamu dan Renata nggak
ngedeketin kakak terus. Please...”
“Iya kakak nggak diganggu kak Rena, tapi aku? Aku juga
sebenernya males kalo mereka tau kita saudaraan, pasti temen-temen sok
ngedeketin aku untuk ngedeketin kakak, ya walaupun nggak semua sih...”
“Kalo masalah Rena serahin sama kakak! Yaudah kita makan
dulu yuk, bi Minah udah nyiapin makanan tuh!”
Aku dan kak Bintang ke ruang makan. Tak lama kemudian
mama dan papa datang dan ikut makan bersama. Malam ini mama tidur di kamarku.
Sebenarnya masih banyak kamar di rumah ini, tapi mama tetap memilih tidur
bersamaku.
Paginya kami sarapan bersama. Akhirnya aku kembali
merasakan sarapan dengan keluarga yang utuh. Kehangatan keluarga yang tidak aku
dapatkan selama 10 tahun.
“Bulan, kamu berangkat sekolah dengan Bintang ya!” pinta
papa.
“Nggak ah, pa! Aku mau naik bus aja!” balasku santai
seraya memakan rotiku.
“Kalo kamu nggak mau sama Bintang, kamu diantar pak Kus
(sopir keluarga) aja ya.” pinta papa.
“Sebelumnya kan aku juga naik bus, jadi udah biasa. Papa
jangan khawatir deh! Yaudah aku duluan ya udah jam 6 kurang 10 nih!” seruku
yang pamit ke mama dan papa lalu keluar.
Ketika aku tiba di sekolah ternyata Juno lebih dulu tiba.
Juno dan kak Bintang adalah orang yang sama tapi menurutku memiliki 2
kepribadian. Aku tiba di sekolah pukul 06.10 dan langsung ke kelas. Seperti
biasa di kelas aku langsung dihadiahi berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan
Juno. Kali ini beberapa teman cowok kelasku ikut bergabung.
“Lan, serius lo dilamar sama kak Juno?” tanya salah satu
teman cowok kelasku yang membuatku tertawa. Dan kali ini tidak ditahan.
“Sumpah gokil kalian! Gua? Dilamar kak Juno? Jangan
bilang kalian semua mikir gitu?” balasku.
“Terus kemarin apa dong? Lo juga dikenalin ke orang tua
kak Juno kan?” tanya Ayu.
“Iya, Lan, udah pada tau kali satu sekolah, orang tuanya
kak Juno itu super sibuk. Kerjaannya kan ke luar negeri terus, Lan...” tambah
teman cewekku.
“Yang jelas, gua nggak dilamar kak Juno. Suka aja nggak!”
seruku.
Juno masuk ke kelasku bersama kedua teman dekatnya. Kedua
temannya itu menunggu di luar kelasku.
“Semua keluar!” perintah Juno dengan kedua tangan yang
dimasukkan ke saku celana.
Otomatis kami semua keluar. Dengan refleks akupun serupa.
“Kecuali elo, Bulan!” timpalnya.
Aku kembali ke tempat dudukku. Juno duduk di sebelahku.
Dia berbicara pelan, sangat pelan agar tidak ada yang mendengar kami.
“Tadi ditanya yang aneh-aneh ya?”
“Iya, kak, untungnya kakak dateng...”
“Tapi kamu nggak jawab jujur kan?”
“Nggak, kak, aku aja masih bingung mau jawab apa. Tapi
kak, apa nggak ada yang curiga sama nama kita? Nama kita kan hampir sama dan
seperti saling berkaitan...”
“Kamu tenang aja ya! Yaudah kalo ada sesuatu bilang kakak
ya!”
Juno berdiri dan berkata, “Semua masuk!”
Semua teman-temanku masuk dan duduk di tempat
masing-masing.
“Yang mau tanya obrolan tadi langsung ke gua! Jangan
tanya ke Bulan!” serunya yang langsung keluar kelas dan pergi bersama kedua
temannya.
Ucapan Juno dituruti semua teman-temanku, mereka tidak
ada yang bertanya termasuk Vio. Bel masuk berbunyi, kami belajar seperti biasa
hingga bel istirahat pertama berbunyi. Kantin kelas 10 sudah ramai. Termasuk
beberapa anak kelas 11 dan kelas 12. Para senior bebas ke kantin kelas 10,
sedangkan para junior tidak boleh ke kantin para senior. Resiko adik kelas.
Aku, Vio, dan beberapa teman sekelasku ke kantin. Setelah memesan makanan kami
memilih tempat. Renata dan teman-temannya kembali menghampiriku. Otomatis wajah
teman-temanku yang tadinya ceria berubah jadi ketakutan dan sedikit pucat.
Termasuk aku.
“Gua udah peringatin elo kemarin, tapi lo tetep
ngedeketin Juno! Lo tau apa yang akan lo dapatin setelah ini?!” seru Renata
yang memegang kemejaku.
“Ma, maaf, kak... sa, saya nggak ngedeketin kak Juno...”
“Orang bodoh juga tau kalo lo itu ngedeketin Juno!”
sergah Renata.
“Stop Renata!” seru Juno dari kejauhan.
Aku sedikit bernapas lega. Juno mendekat. Renata
melepaskan kemejaku yang dia tarik dan melihat kearah Juno.
“Dia nggak ngedeketin gua! Gua yang ngedeketin dia! Puas
lo?! Sebaiknya lo pergi! Gua nggak mau ngelawan cewek!” sergah Juno.
Juno mendekatiku dan mendekapku.
“Apa sih Jun yang lo lihat dari dia? Apa kelebihan dia?
Nggak ada Juno!” balas Renata dengan nada tinggi.
“Pergi sekarang Renata!” tegas Juno.
“Gua nggak akan pergi sebelum lo jawab!” balas Renata.
“Oke kalo itu mau lo! Yang jelas dia lebih daripada lo!
Puas lo?!” seru Juno yang menunjuk Renata.
“Mulai sekarang yang nggak suka sama Bulan bilang sama
gua dan kalian langsung berhadapan sama gua! Ngerti?!” seru Juno dengan
menunjukkan kekuasaannya, “Vio, ikut gua!”
Darimana Juno tau Vio? Tanyaku dalam hati. Juno
mangantarku ke kelas tanpa berkata apapun. Lalu meninggalkan aku dan Vio di
kelas. Kamipun saling diam hingga bel masuk. Lalu semua kembali belajar. Ketika
istirahat kedua, aku dan Vio hanya mengobrol di kelas. Kali ini tidak berkaitan
dengan Juno, melainkan Vio yang curhat mengenai kakak kelas yang dia suka. Yang
ternyata adalah Fahri, teman dekat Juno.
Ketika bel pulang aku dan Vio keluar. Juno sudah menunggu
di koridor utama. Dia duduk dikursi dan membuat takut para juniornya yang ingin
melewatinya. Ketika dia melihatku, dia langsung menarik tanganku. Tinggal
beberapa jam lagi kami akan mendapat kebahagiaan yang telah hilang sejak 10
tahun silam. Kami langsung menuju KUA. Papa dan mama hanya mengundang beberapa
orang. Itupun hanya orang kepercayaan papa. Setelah semua selesai kami kembali
pulang. Merayakan kembalinya keluarga kami yang pernah hilang.
Setelah detik-detik menegangkan, membahagiakan, sekaligus
mengharukan itu selesai. Aku menangis. Kami menangis. Keluargaku kembali
bersatu. Kebahagian itu kini datang kembali menghampiri kami. Keterpurukan telah
hilang. Amarah dan dendam terhadap orang yang menghancurkan dan memisahkan
keluarga kami perlahan sirna. Semua kuasa Allah. Semua takdir Allah. Masa
dimana aku hidup tanpa papa dan kak Bintang hidup tanpa mama terbayar sudah.
Aku tak ingin masa-masa kelam itu terulang. Aku tak ingin masa-masa
membahagiakan ini berakhir.
Terima kasih atas kebahagiaan yang kembali Engkau berikan
pada kami. Terima kasih karena Engkau telah memberikan kepercayaan pada kami
untuk membina sebuah keluarga. Satu pintaku pada-Mu ya Rabb, jangan pisahkan
kami sampai ajal yang memisahkan kami. Sampai akhir waktu...
***