Minggu, 10 Juni 2012

Harapan...


            Namaku Bulan Juventia. Hari ini, Senin tepatnya, aku melaksanakan MOS pertamaku di SMA Darma Bangsa (SDB) Jakarta. Yang namanya MOS adalah hal yang paling ditakuti siswa baru. Diperintah ini-itu oleh senior adalah hal biasa. Pertama, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdapat 5 senior. Tentunya senior kelas 12. Ya! MOS dimulai! Aku dan teman-teman satu kelompokku mulai dipertintah. Seperti membersihkan kelas yang akan kami gunakan beberapa hari, memperkenalkan diri dengan nyanyi atau joget, membersihkan toilet, hingga membelikan makan siang untuk senior. Untuk yang terakhir ini sampai menghabiskan uang jajanku dan hanya tersisa untuk ongkos pulang.
            Salah satu senior cowok memerintah teman sekelompokku yang bernama Andri untuk membelikan makan siang dikantin dengan uang sokongan kami. Tak lama Andri keluar, dia kembali masuk dengan senior cowok. Menurutku dia ganteng. Ganteng banget.
            “Duduk lo!” perintah cowok itu pada Andri.
“Apa maksud lo semua nyuruh dia beli makan siang?” tanya cowok itu yang menunjuk para senior.
Para senior yang ada di kelasku hanya diam. Sedangkan kami, para junior diam-diam memperhatikan.
“Ng...” senior yang bernama Jimmy mencoba menjawab.
“Kalo lo semua pada nggak mampu ngomong! Nanti gua yang bayar! Dari awal gua udah bilang terserah kalian mau nyuruh dan ngehukum apapun, kecuali memeras! Ngerti?!” seru cowok itu.
Sepertinya dia berkuasa sehingga senior lain takut. Tapi tentunya dia bukan ketua OSIS, karena tadi kami sudah melihat rupa sang ketua OSIS. Dia langsung meninggalkan kelas. Terlihat jelas para senior yang dapat bernapas lega. Kami yang penasaran melihat para senior dengan wajah ingin tahu. Para senior kami bernama Jimmy, Eki, Ratu, dan Putri sepertinya bersiap untuk menjelaskan. Eki menutup pintu.
“Oke, kami akan jelasin...” ucap Jimmy, “Namanya Juno, dia pentolan sekolah. Dia juga siswa yang paling ditakuti junior dan paling disegani anak-anak seangkatannya. Dia selalu buat onar di sekolah, dia nggak segan berantem depan guru, dan bagi junior yang menurut dia membangkang siap-siap aja nggak aman di sekolah...” jelas Jimmy.
Aku dan teman-teman baruku hanya mendengar. Aku melihat ke anak-anak cowok kelompokku dan melihat mereka dengan wajah pucatnya. Sepertinya mereka sudah mendengar berita tentang Juno itu.
“Juno juga orangnya dingin, tapi dia nggak pilih temen, yang mau jadi temennya ya silahkan aja, tapi temen-temennya segan sama dia jadi takut duluan. Mungkin untuk beberapa orang yang temenan sama dia, dia itu seperti bank karena dia royal banget! Setiap ngeluarin uang warnanya cuma biru sama merah muda. Pokoknya tajir banget deh! Untuk masalah cewek, kata Rezi dan Fahri, temen-temen deketnya, dia itu belum punya pacar, kalo cewek yang coba deketin sih banyak banget, secara kalian tau sendiri dia ganteng banget, tajir tapi nggak pelit, pinter juga walaupun sering buat onar...” jelas Putri.
“Ada juga pentolan cewek sekolah kita, namanya Renata. Dia sama seperti Juno, tapi nggak lebih parah dari Juno. Dia terobsesi sama Juno juga...” seru Jimmy.
“Pokoknya nanti kalian akan tau mereka orangnya gimana. Yang jelas kalian jangan cari masalah sama senior, terutama Juno dan Renata. Ngerti?!” tegas Ratu.
Teman semejaku bernama Vio memberanikan mengangkat tangan untuk bertanya.
“Gimana caranya biar kami nggak kena masalah sama kak Juno atau kak Renata?”
“Kalo untuk Renata lebih mudah, untuk cewek yang penting gaya kalian nggak berlebihan seperti memakai aksesoris melebihi yang Rena pakai, nggak menel, dan terutama nggak cari perhatian Juno! Untuk cowok sih yang penting jangan membantah dia.” jawab Ratu.
“Kalau kak Juno?” tanyaku yang mengangkat tangan dan bertanya sepelan mungkin. Takut saja yang menjadi bahan pembicaraan mendengar.
            Ratu hanya menjawab dengan gerakan tangannya yang seperti berkata ‘gua nggak tau’.
“Yaudah, kita keluar sekarang, kumpul di lapangan mau ada intruksi!” jelas Eki yang membimbing anak asuhnya keluar kelas.
Kami semua jelas melihat Juno yang sedang memarahi bahkan membentak junior-junior cowok di lapangan. Sedangkan senior-senior lain tidak dapat berbuat apapun. Jelas diwajah mereka, mereka takut berurusan dengan Juno. Aku, kelompokku, dan seniorku berhenti seketika.
“Rezi! Ambil tas gua!” pertintah Juno, “Fahri! Lo urus mereka!”
“Oke boss!” seru kedua temannya yang bernama Rezi dan Fahri.
Setelah Rezi kembali dan memberikan tasnya, Juno ke tempat parkir lalu membawa mobil sport-nya keluar dari sekolah. Seluruh junior dan senior cewek hanya melihat dan mungkin seperti aku yang menggumam dalam hati andai bisa dekat dengan Juno. Menurut cewek kriteria ganteng memang beda, tapi jelas semua kreteria itu ada di Juno. Mungkin hanya beberapa orang yang bilang kalau Juno jelek, itupun hanya untuk mengingkari hati mereka bahwa mereka tidak bisa mendapatkan Juno.
Setelah kepergian Juno, ketua OSIS SDB memberikan intruksi untuk besok. Apa saja yang akan kami lakukan dan apa saja yang akan kami bawa besok. Setelah itu semua junior pulang. Karena ini masa MOS hanya ada senior yang tergabung dalam panitia MOS saja. Sedangkan senior lainnya masih libur.
Aku berangkat dari rumah pukul 05.10 karena harus menunggu bus kearah sekolahku. Aku dan mamaku pindah ke Jakarta saat kelulusan SMP-ku. Sedangkan papa dan kakakku, Bintang, meninggal karena kecelakaan pesawat ketika mereka pergi ke Singapura 10 tahun lalu, tepatnya sejak usiaku 5 tahun. Sejak itu mama memutuskan untuk tidak menikah lagi. Pagi ini, aku sudah janjian dengan Vio di gerbang sekolah. Vio ternyata sudah menungguku di gerbang. Tanpa membuang waktu kami langsung meletakkan tas dan barang-barang bawaan kami ke kelas. Setelah bel, seluruh junior beserta senior ke lapangan dan berkumpul sesuai kelompok.
Kami ditugaskan untuk membuat yel-yel dan topi atau semacamnya sebagai tanda kelompok karena kami besok akan outbond. Tentu saja masih di Jakarta. Setelah membuat yel-yel dan topi kerucut berwarna biru, para senior memperkenalkan area sekolah beserta eskul-nya. Aku dan Vio izin untuk ke toilet. Setelah itu kami kembali mengikuti kelompok kami. Tapi diperjalanan singkat itu kami bertemu dengan Juno, sang pentolan sekolah. Dia memanggil kami.
“Heh, lo yang pakai pita putih!” panggilnya. Yang dimaksud jelas aku, karena Vio tidak memakai pita apapun. Aku hanya menggenggam tangan Vio dan dengan takut kami menghampiri Juno.
“Gua kan cuma panggil elo!” serunya.
“Ma, maaf, ka!” ucap Vio pelan dan mundur beberapa langkah lalu menjauh.
“Elo beliin gua soda di kantin!” perintahnya yang memberikan uang berwarna biru.
Tanpa membantah aku langsung pergi ke kantin dan membelikannya sekaleng soda. Lalu kembali ke tempatnya secepat mungkin.
“Gua kan belum nyuruh beli berapa! Sekarang lo balik ke kantin beliin 5 kaleng lagi!” perintahnya.
Memangnya dia nggak tau, jarak dari tempat kami berada ke kantin cukup jauh! Gerutuku dalam hati. Lalu aku kembali dan memberikan 5 kaleng soda.
“Oh ya gua lupa! Beliin kacang 3 bungkus!” pertintahnya lagi.
Aku kembali ke kantin dan memberikan kacang itu ke Juno.
“Bagus! Kembali ke kelompok lo!” perintahnya.
Aku berjalan lunglai karena kelelahan. Tiba-tiba Juno memanggil lagi. Aku merutuknya dalam hati.
“Heh tunggu!” serunya.
“Ada apa, kak?” tanyaku yang kembali ke tempatnya.
“Dari sekolah mana?” tanyanya sembari meminum sodanya.
“SMP Pelita Bangsa Lampung, kak.”
“Siapa nama lo?”
“Bulan, kak.”
“Kepanjangannya!”
“Bu, Bulan Juventia, kak...” jawabku takut.
“Yaudah sana!” serunya.
Aku berlari ke kelasku yang ternyata sudah dipenuhi anggota kelompok serta seniorku. Aku langsung duduk di sebelah Vio. Ratu dan Putri menghampiriku, sedangkan yang lain memperhatikan kami.
“Lo diapain sama Juno, dek?” tanya kak Ratu penasaran.
“Disuruh bolak-balik kantin kak...” ucapku.
“Oh...” balas Ratu.
Setelah itu, para senior kelompokku mengadakan games. Lalu pulang. Ketika aku tiba di rumah kontrakan sederhana aku dan mama, mama menyuruhku untuk makan siang. Mama bekerja sebagai disainer di sebuah butik di dekat rumahku. Aku dan mama makan siang bersama.
“Ma, kenapa mama menyekolahkanku di sekolah mahal itu?” tanyaku ragu.
“Sekolah kamu itu dulu sekolah mama, makanya mama mau kamu sekolah disana. Untuk biaya jangan kamu pikirkan, yang penting kamu belajar yang baik disana.”
“Iya deh, ma...” jawabku yang melanjutkan makan.
Hari ini aku bangun lebih pagi karena semua siswa kelas 10 harus datang pukul 05.30. Seluruh siswa kelas 10 dan para senior panitia MOS akan ke tempat outbond yang dapat ditempuh dalam waktu 1½ jam kalau tidak macat. Bus-bus untuk siswa kelas 10 telah disiapkan. Sedangkan untuk para senior membawa kendaraan atau menumpang kendaraan temannya. Siswa yang telah hadir berkumpul di luar bus yang telah ditentukan. Sekolah menyiapkan 4 bus. setelah mengabsen, satu persatu siswa masuk ke dalam mobil. Hingga terdengar suara yang sudah tak asing ditelinga kami yaitu suara Juno.
“Elo ikut gua!” seru Juno yang menunjukku.
Dia berjalan santai dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana seragamnya. Aku melihat Vio, Vio pun tak bisa berbuat apapun. Lalu aku melihat kearah Jimmy dan Ratu yang siapa tahu bisa membantuku.
“Ikut aja, dek...” ucap Jimmy pelan dan ragu.
Aku mengikuti Juno memasuki mobil sport merah-nya itu. Sekitar 20 menit perjalanan kami saling diam. Akupun tidak berani menatap Juno. Bus-bus ataupun mobil dan motor para seniorku tertinggal jauh. Akhirnya Juno terlebih dahulu membuka percakapan kami.
“Siapa nama lo?” tanya Juno yang masih menatap jalan raya.
“Bulan Juventia, kak...”
“Yakin cuma itu?”
“Bulan Juventia Artadinata, kak...”
“Lo lahir dimana?”
“Di Jakarta, kak...”
“Kok tinggal di Lampung?”
“Sekitar 10 tahun yang lalu, papa dan kakak saya kecelakaan pesawat dan mereka meninggal tanpa ditemukan jasadnya kak...” jawabku yang hampir menangis.
Dengan ragu Juno bertanya, “Siapa nama mama lo?”
“Me, memangnya kenapa, kak?”
“Jawab!” suara Juno meninggi.
“Revalina, kak...” jawabanku terdengar sangat pelan dan ragu.
Juno menepikan mobilnya. Untungnya jalanan yang kami lalui sedang sepi. Juno seperti tersambar petir, wajahnya merah dan tangan kanannya menutupi matanya. Juno mengambil HP dari saku celananya.
“Hallo, Ri, gua nanti dateng telat, bilang sama Jimmy anak asuhnya gua pinjem...”
Juno meletakkan HP-nya di dasbor. Lalu menatapku dengan tatapan tajam dan serius.
“Lo tau siapa gua?”
Aku hanya menggeleng. Juno menarik napas panjang.
“Gua... Bintang Juventio Artadinata!” serunya.
Aku yang tidak percaya menatapnya.
“Bohong! Ka, kakak bohong!” sergahku tak percaya.
“Coba kamu pikir, darimana saya tau nama kakak kamu?!”
Cara bicara kamipun berubah 180ยบ.
“Tapi kata mama...” ucapku terputus.
“Kakak nggak tau kenapa mama bilang gitu, tapi papa bilang kamu dan mama udah meninggal karena kebakaran rumah kita dulu. Banyak yang mau kakak tanya sama kamu, sebaiknya kita ke resto itu dulu.” ucap Juno yang langsung ke resto yang dekat dengan kami sekarang.
Aku dan Juno masuk ke dalam. Kami memilih tempat dekat jendela dan hanya memesan minuman. Aku dan Juno tidak berselera makan untuk saat ini.
“Gimana keadaan mama sekarang?” tanya Juno yang menatap keluar jendela. Dari wajahnya aku tahu Juno sedang tidak fokus.
“Mama baik-baik aja. Sekarang dia bekerja disalah satu butik untuk membiayai hidup kami di Jakarta. Mama juga belum menikah lagi setelah kejadian itu...” ucapku yang tanpa sadar menangis, “Kalau papa?”
“Papa baik-baik aja. Dia sering keluar kota bahkan keluar negeri. Kami memang pergi ke Singapura dan tinggal disana, sampai akhirnya papa memutuskan untuk kembali ke Jakarta 3 tahun lalu dan kakak melanjutkan sekolah disini. Sampai sekarang papa juga belum menikah...”
“Aku nggak menyangka bisa ketemu sama kakak lagi, setelah 10 tahun. Kenapa mama dan papa sekejam itu, kak?” tanyaku yang menangis.
“Semua jawaban ada pada mereka. Yang jelas untuk saat ini kita jangan beritahu siapapun. Kamu jangan beritahu mama tentang pertemuan kita ini dan jangan mengungkit tentang kakak dan papa pada mama. Untuk di sekolah kita pura-pura nggak saling kenal sampai kakak bisa menemukan cara agar mama dan papa bisa menjelaskan semuanya pada kita! Di sekolah kamu tetap memanggil kakak, Juno, untuk sementara.”
“Aku masih belum percaya semua ini!” ucapku yang menahan tangis.
Juno menghapus air mataku dan mencoba menenangkanku. Tapi tetap saja dihapus beberapa kalipun aku tak bisa berhenti menangis.
“Sekarang kamu pulang aja ya, nanti biar kakak yang bilang ke Jimmy.”
“Kita tetep ke tempat outbond aja ya kak, aku belum siap ketemu mama...”
“Yaudah, tapi kamu jangan marah atau diemin mama ya. Bersikap biasa aja! Kalo ada sesuatu telepon kakak.”
Aku dan Juno bergegas ke tempat outbond itu. Karena jalanan sepi Juno mempercepat laju mobilnya. Akupun tetap menangis. Tidak sampai sejam kami tiba disana. Aku langsung menghampiri kelompokku dan memeluk Vio, teman dekatku sejak 3 hari yang lalu. Juno menyusul di belakangku. Rezi dan Fahri menghampiri kami. Tidak ada yang berani bertanya pada Juno kecuali kedua teman dekatnya itu.
“Wah, Jun, lo apain tuh anak orang sampai nangis gitu?” tanya Rezi yang memukul kecil pundak Juno.
Kali ini semua mata tertuju pada kami.
“Nggak tau tuh, diajakin sarapan aja sampai nangis gitu!” jawab Juno yang berbohong.
“Woy kosis!” panggil Juno yang mengangkat tangannya mengarah ke ketua OSIS yang berdiri di tengah-tengah parah junior, “Gua cabut duluan! Tenang aja preman-preman disini udah gua usir semua!”
Aku yang tetap menangis diam-diam memperhatikan sekitar dan tidak ada sama sekali preman ataupun tempat-tempat yang menyatakan bekas berkumpulnya preman.
“Putri! Suruh dia istirahat!” perintah Juno yang langsung meninggalkan tempat outbond.
Putri dan Vio mengantarkan aku ke tempat dimana aku bisa beristirahat. Putri memberikan teh hangat.
“Kamu yakin tadi cuma diajak sarapan sama dia?” tanya Putri.
Aku hanya menggangguk pelan.
“Sebenernya Juno itu orangnya asik, dek, lo juga seharusnya bersyukur, lo junior pertama yang bisa semobil sama dia dan bisa makan berdua doang sama dia!” jelas Putri.
“Tapi katanya kami harus hati-hati sama kak Juno?” tanya Vio.
“Iya sih, yaudah jangan dipikirin, yang penting Bulan nggak kenapa-napa. Yang gua takutin sekarang si Renata, dia itu terobsesi jadi pacarnya Juno, apapun dia lakuin demi obsesinya itu! Eh sekarang lo istirahat aja dek, gua sama Vio mau lanjut outbond-nya!” jelas Putri.
Putri dan Vio beranjak dari kamar tempatku beristirahat ini. Sepanjang hari aku tak bisa lepas dari rahasia besar ini. Rahasia yang membuatku mengingat ketika mama selalu menangis dengan memeluk foto papa dan kak Bintang. Rahasia yang begitu cepat terungkap. Aku menahan tangis sebisaku. Saat outbond selesai kami semua kembali ke bus masing-masing dan kembali ke sekolah. Wajah-wajah penasaran dari teman-teman dan senior-seniorku hilang seketika. Di sekolah aku langsung pulang karena waktu memang sudah menjelang magrib. Bersikap seperti Bulan yang biasanya di depan mama.
Tidak seperti biasanya, malam ini aku mencoba tidur sebelum waktu tidurku hanya untuk menghindari pikiran tentang rahasia besar ini. Tapi tetap saja pikiran-pikiran itu masuk seberapapun kuatnya aku menolak. Setelah berjam-jam aku mencoba memejamkan mata dan menangis, aku barulah bisa tidur pukul 2 malam.
Paginya aku janjian dengan Vio di gerbang. Kami akan melihat mading bersama-sama karena hari ini adalah penentuan kelas yang sebenarnya. Gedung di SDB terbagi menjadi yaitu gedung kelas 10, kelas 11, kelas 12, dan ruang guru yang bersebelahan dengan aula. Masing-masing gedung kelas 10, 11, dan 12 terdapat toilet, lab. Kimia, lab. Biologi, ruang kesenian, hingga kantin. Serta 3 lapangan olahraga yaitu futsal, basket, dan badminton. Dan terakhir tempat parkir serta taman.
Berita baik untuk hari ini adalah aku sekelas dengan Vio di kelas X3. Kami langsung menuju kelas. Sebelum bel masuk seluruh siswa kelas X3 saling berkenalan. Aku semeja dengan Vio. Vio berbisik “Lo mah nggak perlu kenalan lagi, mereka udah kenal elo, Lan!”
“Kok gitu, Vi? Gua aja nggak kenal mereka...” balasku yang tak kalah pelan.
“Waktu lo lagi istirahat kemarin, semuanya pada ngomongin lo termasuk para senior!”
Aku dan Vio kembali berkenalan dengan mereka semua. Setelah bel kami mulai belajar. Ketika istirahat pertama Vio mengajakku untuk berkeliling gedung kelas 10 lalu ke kantin. Di kantin kami berkumpul dengan teman-teman cewek sekelasku yang sedang makan dan mengobrol. Tiba-tiba teman sekelasku yang bernama Ayu datang.
“Hey guys! Ada hot news nih!” kata Ayu.
Kami semua yang penasaran bertanya-tanya.
“Katanya tadi pagi kak Juno babak belur!” jawab Ayu.
“Serius lo? Salah informasi kali lo!” tanya Vio.
“Memang kenapa, Yu?” tanyaku.
“Iya, lo ini gosip aja!” seru teman sekelasku yang lain.
“Nggak kok! Informan terpercaya walaupun masih kelas 11 sih. Berita ini udah kesebar dikalangan anak kelas 11 dan 12. Kemarin waktu dia pulang ternyata dia ke sekolah main basket sendiri, tiba-tiba ada 5 orang mukulin dia sampai bonyok nggak tau deh kenapa, tapi bukan kak Juno namanya kalo dia nggak bisa bikin orang yang mukulin dia lebih parah dari dia!” jelas Ayu.
“Bohong ya lo!” sergah teman-temanku.
“Ih kalo nggak percaya tanya pak Pendi deh! Kan kalo hari libur pak Pendi sering keliling sekolah, kebetulan dia denger suara ribut-ribut gitu. Kata pak Pendi kemarin dia pengen ngabantuin tapi dilarang sama kak Juno. Gila gentle banget ya kak Juno!” balas Ayu semangat.
“Terus sekarang kak Juno dimana?” tanyaku.
“Katanya sih kak Juno di ruang kepsek, kak Juno nggak mungkin di skorsing, kata anak kelas 12 setiap ada kejadian di sekolah berantem atau apalah yang berhubungan sama kak Juno, dia pasti lolos nggak seperti temen-temennya yang kena skorsing atau dapet SP dari guru. Paling dia disuruh nunggu di ruang kepsek.” jawab Ayu.
Bel masuk berbunyi. Setelah ini adalah pelajaran Fisika. Guru Fisika kami adalah walikelas X3. Ketika kami sedang belajar, Juno mengetuk pintu dan tetap berdiri disana dengan melipat tangan didada.
“Hay miss Hani! Tambah cantik aja!” seru Juno santai.
“Juno?! Mau apa kamu disini? Ini jam pelajaran!” seru bu Hani.
“Miss ini kalo lagi marah tambah cantik deh! Kok nggak jadi walikelas saya lagi sih?”
Aku dan teman-temanku hanya melihat, bahkan beberapa temanku diam dengan mulut terbuka. Wajar saja, kami baru kali ini melihat siswa berani dengan guru seperti itu. Tepatnya dengan gaya bicara seperti itu.
“Setahun jadi walikelas kamu rasanya rambut saya hampir botak!” gerutu bu Hani yang sepertinya whatever dengan siswa-siswa yang sedang melihatnya.
“Nggak botak kok miss, itu buktinya rambut miss masih banyak!” balas Juno yang membuat kami harus menahan tawa.
“Ini jam pelajaran! Mengapa kamu berkeliaran disini?!” tanya bu Hani yang sepertinya sudah bisa menahan emosi.
“Nggak tau tuh kepsek, sepertinya sih kangen sama saya. Buktinya saya disuruh nemenin di ruangannya seharian lagi, miss!”
“Lalu mengapa kamu kesini?”
“Kata kepsek, ada yang harus dibicarain sama semua guru Fisika. Udah ditunggu tuh miss!”
Setelah memberi tugas kepada kami, bu Hani keluar. Juno masuk ke kelas.
“Mengapa kamu masuk?!” seru bu Hani.
“Kan saya mau jagain kelas miss, nanti kalo mereka ribut gimana? Kalo tiba-tiba ada pemeriksaan kelas gimana?”
“Mereka nggak mungkin ribut! Yang ada kamu yang buat ribut!”
“Miss ini nggak bisa lihat saya seneng ya! Saya kan mau kenalan sama adik-adik kelas ini miss!” balas Juno dengan wajah kecewa tapi tetap mengikuti langkah bu Hani.
Setelah pergi cukup jauh, teman-teman cewekku berkumpul di tempat Ayu, tepatnya di belakang tempatku dan Vio.
“Gila! Kak Juno berani banget tadi!” seru temanku.
“Asli! Parah ya berani sama bu Hani! Walaupun masih muda, bu Hani kan tetep guru!” tambah Vio.
“Kalo kak Juno nggak gitu, nggak mungkin dia jadi pentolan sekolah!” seru Ayu.
HP-ku bergetar. Aku membuka SMS dari Juno.
Juno     : Rencana sukses!
Bulan   : Rencana apa kak?
Juno     : Besok papa dipanggil ke sekolah.
Bulan   : Serius? Jam berapa?
Juno     : Iya! Jam 8. Sekarang tugas kamu ya!
Bulan   : Iya.
Juno     : End chat!
Aku segera menekan end chat dan memasukan HP-ku ke saku kemeja sekolahku. Aku melanjutkan sekolah dengan tenang dan tanpa mendengar berita Juno membuat onar lagi. Seharian Juno berada di ruang kepala sekolah. Ketika pulang pun aku tidak melihatnya. Besok untuk pertama kalinya aku melihat papa setelah 10 tahun aku tidak melihatnya. Seperti apa papa sekarang? Apa papa masih mengenaliku? Apa yang akan papa lakukan setelah bertemu aku dan mama besok? Apa akan ada pertengkaran lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku ingin menangis.
Setibanya di rumah aku langsung ke kamar. Untuk makan siang pun aku tak berselera. Mama belum pulang kerja. Aku terus menangis memikirkan esok. Aku memeluk foto keluargaku. Saat kami masih bersama. Saat kami masih bahagia. Ketika aku berusia 4 tahun dan kak Bintang berusia 6 tahun. Apakah kak Bintang sekarang merasakan apa yang sedang aku rasakan? Senang, takut, khawatir, dan gelisah menunggu esok. Atau sekarang kak Bintang sedang bersenang-senang dengan teman-temannya tanpa memikirkan esok. Semua pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Ketika makan malam, aku bersikap seperti biasa. Setelah makan aku kembali ke kamar. Juno tidak menghubungiku. Aku mulai takut rencana kami tidak berjalan baik besok. Akhirnya aku kembali tertidur pukul 2 malam.
Paginya hampir saja aku telat ke sekolah. Ketika aku tiba di sekolah bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama Fisika. Sedikitpun penjelasan yang diberikan bu Hani tidak ada yang masuk ke otakku. Ketika jam dinding menunjukkan pukul 08.00 aku meminta izin bu Hani untuk ke toilet. Aku akan menjalankan rencanaku. Aku langsung berlari ke kantin untuk membeli 2 kaleng soda. Aku sengaja tidak sarapan dan meminum 2 kaleng soda itu sekaligus agar sakit perut. Sebenarnya bisa saja aku berpura-pura sakit dan meminta bu Hani atau petugas UKS menelepon mama, tapi sayangnya aku tidak seperti Juno yang pandai berakting.
Setelah meminum soda-soda itu aku kembali ke kelas. Reaksi soda-soda itu cukup cepat. Tapi Juno belum tahu ideku ini. Dan sekarang perutku mulai sakit. Aku terus memegangi perutku dan merintih kesakitan. Vio melihat.
“Lan, lo kenapa?”
“Nggak tau, Vi, sakit banget!”
“Yaudah gua temenin ke UKS aja ya! Nanti gua yang bilang sama bu Hani!”
“Nggak kuat, Vi, tolong telepon mama gua aja. Tolong, Vi!”
“Bu! Bulan sakit, bu!” seru Vio panik.
Bu Hani segera menghampiriku sedangkan teman-temanku melihat kearahku.
“Yaudah sekarang kamu ke UKS aja ya!” seru bu Hani panik.
“Saya nggak kuat lagi, bu, tolong telepon mama saya aja, bu...” rintihku yang terus memegangi perutku.
Bu Hani yang masih panik langsung mengambil HP-ku yang sedari tadi aku letakkan di meja. Setelah menelepon mamaku, bu Hani meletakkan HP-ku di tempat semula. Aku hanya berharap Juno tahu. Kalau sudah seperti ini aku sedikit menyesal mengapa aku tidak berakting saja, aku tak tahu kalau akan sesakit ini jadinya. HP-ku bergetar dan dilayar terdapat nama ‘my brother’ aku langsung membuka SMS itu karena takut dilihat bu Hani dan beberapa temanku yang ada di dekatku dan membalas agar segera ke kelasku.
“Siapa, Lan?” tanya bu Hani.
“Mama, bu... sakit banget bu...” seruku yang terus merintih.
Tak lama kemudian Juno masuk kekelasku. Dia sendiri, tanpa papa. Aku mulai kecewa. Dengan refleks teman-temanku menyingkir dan membuka jalan untuk Juno.
“Lo serius?” tanya Juno panik.
Aku hanya mengangguk dan merintih kesakitan. Juno langsung mengangkat tubuhku. Bu Hani mencoba menghentikannya.
“Juno! Apa-apaan kamu! Ibu sudah menelepon mamanya dan dia sedang diperjalanan sekarang!” seru bu Hani.
“Sekarang bukan waktunya nunggu! Ibu nggak lihat dia udah kesakitan!” seru Juno yang berjalan cepat.
Bu Hani dan beberapa teman sekalasku mencoba mengejar Juno hingga keluar gedung kelas 10. Ternyata ada papa. Mama pun baru tiba. Tapi aku mengabaikan mereka. Perutku semakin sakit. Bu Hani dan teman-temanku berhenti.
“No time! Don’t ask! Follow me!” seru Juno.
Juno membawaku ke mobilnya. Sedangkan papa dan mama satu mobil yaitu menggunakan mobil papa. Juno langsung membawaku ke rumah sakit terdekat. Setelah di periksa di UGD, aku dibawa ke ruang inap.
“Bintang... benar kamu Bintang?” tanya mama yang menangis dan meraba wajah kak Bintang.
Kak Bintang menahan tangisnya. Tapi dia gagal, dia tetap menangis. Begitupun mama dan aku yang sedari tadi menangis. Aku melihat papa. Papa menghampiriku. Tanpa berkata apapun papa memelukku.
“Mama...” ucap kak Bintang yang langsung memeluk mama, “Mama...” ulangnya.
Setelah keadaan cukup tenang, mama dan papa duduk di sofa. Sedangkan kak Bintang duduk dikursi dekat bed-ku. Banyak yang ingin aku tanyakan pada mereka. Tapi hanya diam, diam, dan diam yang kini dapat kulakukan hingga kak Bintang memecah keheningan.
“Kami butuh penjelasan...” ucap kak Bintang.
Satu kalimat yang aku dan kak Bintang tunggu selama ini. Satu kalimat yang bisa menjadikan kami bersatu kembali atau dapat meruntuhkan semua harap. Satu kalimat yang membuat kami semua mengenang masa lalu. Satu kalimat beribu harap. Satu kalimat yang menakutkan tapi sangat dibutuhkan. Satu kalimat yang akan berujung pada satu pilihan, haru atau luka.
Semua hening. Termasuk aku yang terus menangis tanpa suara. Kak Bintang terus menggenggam tanganku. Tangannya yang dingin sangat jelas menggambarkan ketakutannya. Ketakutan kami.
“Amarah. Keterpurukan. Pengkhianatan. Orang ketiga. Semua menjadi penyesalan belaka...” ucap mama seperti menerang dan tetap menangis.
“Skenario yang telah dibuat, dipersiapkan dengan matang demi merebut sebuah kebahagian dan harta...” tambah papa yang juga menerawang.
“Apa maksud kalian? Siapa dia? Kenapa papa bilang mama dan Bulan udah meninggal, mama juga bilang papa dan aku udah meninggal!” tanya kak Bintang dengan nada sedikit meninggi.
“Dia Veronica. Teman dekat kami bahkan sudah menjadi saudara kami. Semua skenario sudah dia siapkan. Semua berita meninggalnya mama dan Bulan papa dapatkan dari dia. Setelah 2 hari kita di Singapura, Veronica memberitahukan berita itu dan saat itu juga papa kembali ke Jakarta dan mengecek kebenarannya. Kata tetangga dan polisi ada seorang ibu dan seorang anaknya yang tewas pada kebakaran itu, jasadnya nggak bisa dikenali, tapi menurut polisi mereka adalah seorang ibu muda dan seorang putrinya yang berusia sekitar 5 tahun. Papa shock ketika melihat kedua jasad itu sama sekali nggak bisa dikenali. Papa nggak mau kamu sedih dengan kembali ke Indonesia dan melihat rumah kita yang sudah rata dengan tanah serta jasad mama dan Bulan yang mengenaskan. Ketika papa dan Bintang ke Singapura kami ingin melihat rumah baru kita disana, sebelumnya papa dan mama memang memutuskan untuk tinggal di Singapura. Veronica terus meyakinkan papa bahwa tinggal di Singapura adalah jalan terbaik untuk kami saat itu...” jelas papa.
“Kalau kecelakaan pesawat, itu bukan skenario kan, ma?” tanyaku tajam yang memperkuat genggamanku pada kak Bintang.
“Entahlah mama juga nggak tau, apa itu hanya kebetulan yang menguntungkannya, tapi itu benar-benar penerbangan yang digunakan papa dan kamu, Bintang... Veronica membantu mama mencaritahu, dengan sukarela dia menemani mama ke lokasi kejadian dengan waktu tepat seperti yang papa bilang, 2 hari setelah papa dan Bintang di Singapura. Lokasi kecelakaan pesawat itu benar-benar curam, akhirnya Veronica mempunyai ide untuk membawa mama dan Bulan ke Lampung. Awalnya tujuan kami hanya untuk berlibur. Tapi Veronica menyarankan kami untuk tinggal di Lampung karena rumah kita di Jakarta kebakaran selain itu agar mama bisa cepat melupakan kejadian itu, diapun memberikan rumahnya di Lampung dengan sukarela ke mama dan Bulan...” jelas mama yang mengingat masa suramnya itu.
“Itu hanya kebetulan, saat itu ada 2 pesawat tujuan Singapura dengan penerbangan yang sama. Sebenarnya ada naskah lain yang telah disiapkan Veronica untuk menghancurkan keluarga kita. Tapi dengan kejadian kecelakaan pesawat itu Veronica pikir akan lebih mudah dan lebih cepat menghancurkan keluarga kita...” tambah papa.
“Kok papa tau? Dan apa tujuan Veronica itu?” tanya kak Bintang.
“Semua karena harta. Harta bisa mengubah saudara menjadi musuhnya. Empat tahun yang lalu, semua terbongkar. Perusahaan kita yang diambil alih Veronica bangkrut, suaminya menikah dengan perempuan lain, dan dia juga nggak mempunyai anak. Karena bertubi-tubi masalah menghampirinya diapun meninggal. Orang kepercayaan Veronica yang menceritakan ini semua.” jawab papa.
“Kenapa papa nggak ngasih tau aku, pa?! Kenapa papa nggak langsung nyari mama dan Bulan?!” tanya kak Bintang dengan nada tinggi.
“Papa belum siap memberitahu kamu, Bintang! Kamu nggak tau apa yang papa rasakan waktu mendengar rahasia besar itu! Sejak kita kembali ke Jakarta papa sudah mencari mama dan Bulan ke seluruh Jakarta ini! Papa juga mencari mama hingga ke seluruh pulau Jawa ini! mencari tau ke saudara jelas nggak mungkin! Papa dan mama adalah anak tunggal, orang tua kami sudah meninggal, kampung halamanpun hanya di Jakarta!” jelas papa.
Kak Bintang pergi entah kemana. Aku mengajak mama pulang. Dan papapun pergi entah kemana. Aku dan mama pulang naik taksi. Di taksi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari aku dan mama. Ketika di rumah pun aku dan mama langsung masuk ke kamar masing-masing. Di kamarku aku bingung apakah aku harus menelepon kak Bintang atau tidak. Aku khawatir dengan keadaan kak Bintang sekarang. Untuk mengalihkan pikiranku, aku menelepon Vio dan menanyakan tugas-tugas yang diberikan hari ini, lalu mengerjakannya.
Seharian, baik aku maupun mama tidak ada yang keluar kamar. Makan pun kami tidak berselera. Entah apa yang mama lakukan di kamar. Begitupun kak Bintang yang tidak memberi kabar sama sekali. Aku sudah mencoba SMS tapi tidak ada balasan. Kekhawatiranku bertambah ketika aku mencoba meneleponnya tapi ternyata HP-nya mati. Malam ini aku tidak tidur sama sekali. Resiko mata panda di keesokan hari pun tak masalah.
Aku tiba di sekolah pukul 06.10. siswa-siswa pun sudah banyak yang berdatangan. Tapi aku tidak melihat mobil sport merah milik Juno. Aku mengabaikannya dan masuk ke kelas. Kelas X3 sudah ramai. Ketika melihat aku masuk, mereka langsung menghampiriku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang aku dan Juno kemarin. Hanya Vio yang menyadari bahwa aku kurang tidur karena melihat mata pandaku.
“Dia cuma nganter gua ke rumah sakit. Nggak lebih.” jawabku sederhana.
“Lan, temenin gua ke kantin yuk, laper nih!” ajak Vio.
“Tapi gua nggak laper, Vi!” balasku.
“Masa lo tega sama temen lo ini makan sendirian...” balas Vio dengan wajah kecewa.
Akupun menemaninya ke kantin. Banyak siswa yang sedang sarapan atau hanya sekedar berkumpul di kantin.
“Lo mau pesen apa?” tanya Vio.
“Nggak deh, Vi, lo aja!” jawabku.
“Oh yaudah...” balasnya yang meninggalkanku.
Aku memilih tempat duduk. Tiba-tiba kantin hening. Aku segera mencari penyebabnya. Ternyata sang pentolan cewek sekolah. Renata. Dia dan teman-temannya menghampiriku.
“Lo apain Juno?” sergahnya.
“Ma, maaf, kak... saya nggak mengerti maksud kakak...” jawabku yang tidak berani menatap wajahnya.
“Lo kasih pelet apa dia sampai bisa deket sama lo gitu?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Sa, saya nggak ngasih apapun kak... sa, saya juga nggak tau kenapa kak Juno gitu...”
“Sekali lagi lo berani deketin Juno! Gua pastiin lo nggak akan aman disini!” serunya dengan mengangkat daguku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya untuk menunjukku.
Mereka pergi dan Vio kembali. Vio terlihat khawatir. Vio mengajakku kembali ke kelas tanpa memakan pesanannya. Beberapa teman-teman kelasku yang melihat kejadian langsung menenangkanku. Ketika bel, kami semua belajar. Pada istirahat pertama aku tetap di kelas, sedangkan Vio ke kantin untuk membeli snack dan minuman untuk aku dan dia. Tak lama kemudian, Vio masuk ke kelas dengan membawa cukup banyak snack dan minuman. Terlihat jelas diwajahnya kepanikan. Aku langsung membantu membawa snack itu dan mendudukkan Vio di tempatku.
“Tenang, Vi, tenang... kenapa lo? Kok panik gitu?” tanyaku.
“Kak Juno! Kak Juno!”
“Kenapa kak Juno?” tanyaku panik.
Vio mengajakku ke lapangan basket. Disana sudah banyak siswa, mulai dari kelas 10 hingga kelas 12. Aku dan Vio ikut melihat. Ternyata Juno sedang main basket one on three. Ketiga anak itu diantaranya 2 orang kelas 11 dan 1 orang kelas 12. Sangat terlihat di wajah Juno amarah. Permainan basketnya pun kasar. Sesekali dia mendorong salah satu pemain hingga jatuh. Tak ada yang berani menghentikan kecuali kedua temannya, Fahri dan Rezi. Fahri melindungi seorang temannya dan kedua adik kelasnya dari Juno. Sedangkan Rezi menghentikan permainan Juno.
“Keep calm, bro! Lo mau seharian dipenjara di ruang kepsek lagi?!” seru Rezi.
“Bubar semua!” perintah Rezi pada semua orang yang menonton mereka.
Seluruh siswa berhamburan, termasuk ketiga korban basket yang ditunjuk Juno itu. Rezi dan Fahri menenangkan Juno di tribun penonton. Aku dan Vio kembali ke kelas. Di kelas hanya ada satu pembahasan yang menarik, Juno. Ketika bel masuk, kami kembali belajar. Saat istirahat kedua aku dan teman-teman cewek sekelasku tidak keluar. Kami membahas tentang Juno. Tepatnya mereka. Bukan aku.
Saat bel pulang sekolah, aku, Vio, dan beberapa teman sekelasku menuju koridor utama. Koridor yang biasa digunakan baik oleh siswa, guru, atau orang umum yang ingin masuk ke sekolahku. Langkah kami terhenti ketika melihat banyak siswa yang sedang memperhatikan sesuatu. Aku dan teman-temanku bergabung. Ternyata mereka sedang melihat kearah sang pentolan sekolah, Juno, yang sedang mengobrol dengan papa di dekat mobil super mewah papa. Dan di dekat mereka, ada mama. Aku yang melihat hanya diam dan tetap menjaga mulutku agar tidak terbuka melihatnya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Ada apa?’,‘Dengan siapa Juno?’,‘Kenapa orang tuanya ke sekolah’ dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab sendiri. Juno menghampiri kami semua yang melihat. Dan tiba-tiba wajah pucat terlihat disekelilingku. Andri yang ada di sebelahku berbisik, “Jangan-jangan dia mau ngelamar elo, Lan...”
Aku hanya menahan tawa dengan gaya bicaranya itu. Ayu yang ada di belakang kami juga berbisik, “Asli, Ndri, katanya sih, si Bulan cewek pertama yang dideketin kak Juno...”
Kali ini aku benar-benar susah untuk menahan tawa hingga aku menangis. Bukan menangis kesedihan tentunya.
“Ikut gua!” seru Juno yang berdiri tepat di depanku.
“Hah?” seruku dengan mulut terbuka. Memalukan.
Juno langsung menarik tanganku dan berjalan santai.
“Mau kemana, kak?” tanyaku.
“Don’t fussy!” seru Juno, “Zi, titip mobil gua di rumah lo, sore gua ambil!”
Juno melempar kunci mobilnya ke Rezi. Aku dan Juno masuk ke mobil diiringi tatapan dari siswa-siswa lain. Di mobil hanya diam. Sopir itu membawa aku, Juno, mama, dan papa ke sebuah restoran mewah. Kami masuk. Tempat telah disediakan.
“Ada apaan sih, kak, ma, pa?” tanyaku.
“Nggak tau...” jawab kak Bintang.
“Hmm, sebenarnya kami mau minta persetujuan kalian...” ucap mama.
“Persetujuan apa?” seruku dan kak Bintang.
“Besok papa dan mama mau menikah...” jawab papa.
“Serius, pa, ma? Sekarang aja, pa, jangan besok!” seru kak Bintang semangat.
“Bintang!” seru papa, “Yasudah lebih baik kamu dan Bulan sekarang ke rumah kontrakan itu, siapkan barang-barang mama dan Bulan, bawa ke rumah!” perintah papa.
“Terus papa dan mama?” tanyaku.
“Sudah sana kamu dan kak Bintang, suruh pak Min (sopir papa) antar kalian ambil mobil kak Bintang!” ucap papa yang tidak menjawab pertanyaanku.
“Yaudah deh, ayo dek, jangan ganggu mama dan papa yang mau pacaran lagi!” seru kak Bintang yang tertawa.
Kami langsung ke mobil dan menuju rumah Rezi. Aku tetap di mobil papa dan menunjukkan pak Min alamat rumah kontrakan kami. Kak Bintang mengikuti. Setelah sekitar 3 jam, kami kembali ke rumah papa. Kak Bintang menunjukkan kamar yang akan aku tempati, yaitu tepat di sebelah kamar kak Bintang. Kak Bintang pun membantuku merapikan barang-barangku di kamar itu. Akhirnya pukul setengah delapan kami selesai. Aku dan kak Bintang bersantai di balkon kamarku. Malam yang penuh bintang. Malam yang sangat indah...
“Jujur... kakak nggak pernah menyangka kalo keluarga kita bisa utuh lagi...”
“Sama kak, aku sama sekali nggak menyangka...”
“Di sekolah, kamu jangan bilang kita saudara ya, kakak mau ngedeketin kamu biar mereka tau kakak suka sama kamu dan Renata nggak ngedeketin kakak terus. Please...”
“Iya kakak nggak diganggu kak Rena, tapi aku? Aku juga sebenernya males kalo mereka tau kita saudaraan, pasti temen-temen sok ngedeketin aku untuk ngedeketin kakak, ya walaupun nggak semua sih...”
“Kalo masalah Rena serahin sama kakak! Yaudah kita makan dulu yuk, bi Minah udah nyiapin makanan tuh!”
Aku dan kak Bintang ke ruang makan. Tak lama kemudian mama dan papa datang dan ikut makan bersama. Malam ini mama tidur di kamarku. Sebenarnya masih banyak kamar di rumah ini, tapi mama tetap memilih tidur bersamaku.
Paginya kami sarapan bersama. Akhirnya aku kembali merasakan sarapan dengan keluarga yang utuh. Kehangatan keluarga yang tidak aku dapatkan selama 10 tahun.
“Bulan, kamu berangkat sekolah dengan Bintang ya!” pinta papa.
“Nggak ah, pa! Aku mau naik bus aja!” balasku santai seraya memakan rotiku.
“Kalo kamu nggak mau sama Bintang, kamu diantar pak Kus (sopir keluarga) aja ya.” pinta papa.
“Sebelumnya kan aku juga naik bus, jadi udah biasa. Papa jangan khawatir deh! Yaudah aku duluan ya udah jam 6 kurang 10 nih!” seruku yang pamit ke mama dan papa lalu keluar.
Ketika aku tiba di sekolah ternyata Juno lebih dulu tiba. Juno dan kak Bintang adalah orang yang sama tapi menurutku memiliki 2 kepribadian. Aku tiba di sekolah pukul 06.10 dan langsung ke kelas. Seperti biasa di kelas aku langsung dihadiahi berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan Juno. Kali ini beberapa teman cowok kelasku ikut bergabung.
“Lan, serius lo dilamar sama kak Juno?” tanya salah satu teman cowok kelasku yang membuatku tertawa. Dan kali ini tidak ditahan.
“Sumpah gokil kalian! Gua? Dilamar kak Juno? Jangan bilang kalian semua mikir gitu?” balasku.
“Terus kemarin apa dong? Lo juga dikenalin ke orang tua kak Juno kan?” tanya Ayu.
“Iya, Lan, udah pada tau kali satu sekolah, orang tuanya kak Juno itu super sibuk. Kerjaannya kan ke luar negeri terus, Lan...” tambah teman cewekku.
“Yang jelas, gua nggak dilamar kak Juno. Suka aja nggak!” seruku.
Juno masuk ke kelasku bersama kedua teman dekatnya. Kedua temannya itu menunggu di luar kelasku.
“Semua keluar!” perintah Juno dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana.
Otomatis kami semua keluar. Dengan refleks akupun serupa.
“Kecuali elo, Bulan!” timpalnya.
Aku kembali ke tempat dudukku. Juno duduk di sebelahku. Dia berbicara pelan, sangat pelan agar tidak ada yang mendengar kami.
“Tadi ditanya yang aneh-aneh ya?”
“Iya, kak, untungnya kakak dateng...”
“Tapi kamu nggak jawab jujur kan?”
“Nggak, kak, aku aja masih bingung mau jawab apa. Tapi kak, apa nggak ada yang curiga sama nama kita? Nama kita kan hampir sama dan seperti saling berkaitan...”
“Kamu tenang aja ya! Yaudah kalo ada sesuatu bilang kakak ya!”
Juno berdiri dan berkata, “Semua masuk!”
Semua teman-temanku masuk dan duduk di tempat masing-masing.
“Yang mau tanya obrolan tadi langsung ke gua! Jangan tanya ke Bulan!” serunya yang langsung keluar kelas dan pergi bersama kedua temannya.
Ucapan Juno dituruti semua teman-temanku, mereka tidak ada yang bertanya termasuk Vio. Bel masuk berbunyi, kami belajar seperti biasa hingga bel istirahat pertama berbunyi. Kantin kelas 10 sudah ramai. Termasuk beberapa anak kelas 11 dan kelas 12. Para senior bebas ke kantin kelas 10, sedangkan para junior tidak boleh ke kantin para senior. Resiko adik kelas. Aku, Vio, dan beberapa teman sekelasku ke kantin. Setelah memesan makanan kami memilih tempat. Renata dan teman-temannya kembali menghampiriku. Otomatis wajah teman-temanku yang tadinya ceria berubah jadi ketakutan dan sedikit pucat. Termasuk aku.
“Gua udah peringatin elo kemarin, tapi lo tetep ngedeketin Juno! Lo tau apa yang akan lo dapatin setelah ini?!” seru Renata yang memegang kemejaku.
“Ma, maaf, kak... sa, saya nggak ngedeketin kak Juno...”
“Orang bodoh juga tau kalo lo itu ngedeketin Juno!” sergah Renata.
“Stop Renata!” seru Juno dari kejauhan.
Aku sedikit bernapas lega. Juno mendekat. Renata melepaskan kemejaku yang dia tarik dan melihat kearah Juno.
“Dia nggak ngedeketin gua! Gua yang ngedeketin dia! Puas lo?! Sebaiknya lo pergi! Gua nggak mau ngelawan cewek!” sergah Juno.
Juno mendekatiku dan mendekapku.
“Apa sih Jun yang lo lihat dari dia? Apa kelebihan dia? Nggak ada Juno!” balas Renata dengan nada tinggi.
“Pergi sekarang Renata!” tegas Juno.
“Gua nggak akan pergi sebelum lo jawab!” balas Renata.
“Oke kalo itu mau lo! Yang jelas dia lebih daripada lo! Puas lo?!” seru Juno yang menunjuk Renata.
“Mulai sekarang yang nggak suka sama Bulan bilang sama gua dan kalian langsung berhadapan sama gua! Ngerti?!” seru Juno dengan menunjukkan kekuasaannya, “Vio, ikut gua!”
Darimana Juno tau Vio? Tanyaku dalam hati. Juno mangantarku ke kelas tanpa berkata apapun. Lalu meninggalkan aku dan Vio di kelas. Kamipun saling diam hingga bel masuk. Lalu semua kembali belajar. Ketika istirahat kedua, aku dan Vio hanya mengobrol di kelas. Kali ini tidak berkaitan dengan Juno, melainkan Vio yang curhat mengenai kakak kelas yang dia suka. Yang ternyata adalah Fahri, teman dekat Juno.
Ketika bel pulang aku dan Vio keluar. Juno sudah menunggu di koridor utama. Dia duduk dikursi dan membuat takut para juniornya yang ingin melewatinya. Ketika dia melihatku, dia langsung menarik tanganku. Tinggal beberapa jam lagi kami akan mendapat kebahagiaan yang telah hilang sejak 10 tahun silam. Kami langsung menuju KUA. Papa dan mama hanya mengundang beberapa orang. Itupun hanya orang kepercayaan papa. Setelah semua selesai kami kembali pulang. Merayakan kembalinya keluarga kami yang pernah hilang.
Setelah detik-detik menegangkan, membahagiakan, sekaligus mengharukan itu selesai. Aku menangis. Kami menangis. Keluargaku kembali bersatu. Kebahagian itu kini datang kembali menghampiri kami. Keterpurukan telah hilang. Amarah dan dendam terhadap orang yang menghancurkan dan memisahkan keluarga kami perlahan sirna. Semua kuasa Allah. Semua takdir Allah. Masa dimana aku hidup tanpa papa dan kak Bintang hidup tanpa mama terbayar sudah. Aku tak ingin masa-masa kelam itu terulang. Aku tak ingin masa-masa membahagiakan ini berakhir.
Terima kasih atas kebahagiaan yang kembali Engkau berikan pada kami. Terima kasih karena Engkau telah memberikan kepercayaan pada kami untuk membina sebuah keluarga. Satu pintaku pada-Mu ya Rabb, jangan pisahkan kami sampai ajal yang memisahkan kami. Sampai akhir waktu...
***